Lahir antara tahun 1960 hingga 1979, para orang tua generasi ini adalah saksi hidup dari transisi besar dunia, yaitu dari era analog menuju digital, dari stabilitas relatif menuju ketidakpastian global. Kita tumbuh besar dalam dunia yang lebih lambat, lebih tenang, dan relatif homogen secara sosial. Namun kini, mereka menyaksikan anak-anak dan cucu-cucu mereka tumbuh di dunia yang berbeda 180 derajat. Anak dan cucunya menyaksikan dunia pasca 9/11, dua kali resesi ekonomi global, hantaman pandemi COVID-19 global, dan kini bayang-bayang Perang Dunia Ketiga. Situasi ini menuntut refleksi mendalam di tengah kita semua, tentang bagaimana peran kita sebagai orang tua yang tidak hanya membimbing, tetapi juga memperkuat ketangguhan generasi penerus?
Dulu, ketika kita muda, informasi datang dari surat kabar, radio, dan televisi sangat terbatas. Sekarang, anak cucu hidup di tengah banjir informasi dari media sosial, berita daring, hingga video viral yang tak terbendung. Dunia yang terhubung secara digital ini menawarkan peluang, tetapi juga tantangan luar biasa dalam bentuk paparan kekerasan, disinformasi, krisis identitas, hingga tekanan sosial yang tidak terlihat. Di sinilah peran orang tua generasi yang lahir pada 60 dan 70-an sangat vital, yaitu menjadi jangkar nilai dan identitas, sekaligus benteng moral yang menenangkan.
Secara psikologis, anak-anak masa kini membutuhkan ruang aman secara emosional untuk bertumbuh. Psikolog perkembangan seperti Jean Twenge (2017) menyebutkan bahwa generasi digital seringkali lebih cemas dan rentan secara emosional. Orang tua yang lahir dari era 60 dan 70-an yang pernah hidup tanpa gadget memiliki potensi untuk menawarkan presence dan attention yang lebih utuh. Keterlibatan emosional yang hangat, komunikasi terbuka, dan kemampuan mendengar adalah pondasi penting untuk membangun resiliensi anak di tengah gempuran stres modern.
Dari sisi budaya, generasi yang lahir tahun 60 dan 70-an hidup dalam masa ketika nilai-nilai kolektivisme, gotong royong, dan penghormatan pada orang tua masih menjadi norma kuat. Sementara budaya hari ini cenderung lebih individualis dan transaksional. Peran orang tua di sini bukan untuk memaksa anak mengikuti masa lalu, melainkan menjembatani nilai-nilai luhur tradisional dengan konteks modern. Misalnya, mengajarkan empati dan tanggung jawab sosial melalui kegiatan keluarga, keterlibatan di masyarakat, dan pembiasaan hidup sederhana.
Dalam perspektif pendidikan, orang tua yang lahir era 60 dan 70-an perlu beradaptasi dengan pendekatan pembelajaran abad 21 yang menekankan critical thinking, kolaborasi, dan digital literacy. Namun, mereka juga tetap memegang nilai keuletan, ketekunan, dan kedisiplinan yang telah teruji zaman. Memberikan keseimbangan antara fleksibilitas berpikir dan prinsip hidup adalah salah satu kontribusi besar orang tua dalam membentuk generasi yang tidak mudah goyah oleh arus zaman.
Agama dan spiritualitas menjadi jangkar penting dalam pembentukan karakter. Orang tua generasi yang lahir tahun 60 dan 70-an umumnya memiliki pengalaman spiritual yang lebih tradisional dan ritualistik. Hari ini, spiritualitas seringkali bersifat personal dan kontekstual. Maka tantangannya adalah bagaimana orang tua bisa mentransformasikan agama sebagai sumber makna, bukan sekadar kewajiban. Mengajak anak berdialog tentang nilai-nilai kebaikan universal dalam agama, menjadikannya pedoman etika dalam kehidupan, bukan alat pembatas, akan memperkuat ketahanan mental anak.
Resiliensi tidak lahir begitu saja. Resiliensi dibentuk melalui pengalaman, keterpaparan terhadap kesulitan, dan dukungan lingkungan yang aman. Orang tua yang membekali anak dengan kemampuan menyelesaikan masalah, memproses emosi, dan bangkit dari kegagalan sebenarnya sedang menyiapkan generasi tangguh. Sebaliknya, pola asuh yang terlalu protektif akan membuat anak mudah goyah ketika realitas hidup menghantam ketika di luar cakupan keluarga inti.
Selain itu, penting bagi orang tua untuk tidak menyangkal bahwa dunia telah berubah. Mereka perlu merangkul perubahan teknologi sebagai alat, bukan ancaman. Mengedukasi diri mereka sendiri tentang digital life, keamanan siber, dan pola komunikasi anak-anak zaman kini, dapat menjembatani kesenjangan generasi yang kian melebar.
Di sisi lain, orang tua juga harus jujur mengakui bahwa mereka pun mengalami kelelahan emosional menghadapi tantangan zaman. Maka penting bagi mereka untuk memiliki komunitas, ruang istirahat, bahkan bimbingan psikologis jika diperlukan. Orang tua yang sehat secara mental adalah fondasi rumah tangga yang kuat.
Dalam dunia yang tidak pasti ini, rumah adalah tempat terakhir yang seharusnya menjadi stabil. Orang tua generasi yang lahir 60 dan 70-an dengan kedewasaan emosional, pengalaman krisis, dan ketenangan spiritual memiliki kekuatan besar untuk menciptakan ekosistem keluarga yang sehat, suportif, dan resilien.