Lihat ke Halaman Asli

Mas Say

Pemuda Indonesia

KPK Gaya Baru dan Dekonstruksi Hukum Putusan MK

Diperbarui: 10 Mei 2021   05:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto : www.kompas.com

Mahkamah Konstitusi (MK) adalah the guardian of constitution dalam mengkonstruksi hukum. MK adalah benteng akhir dari sebuah produk UU. Diskursus keadilan terhadap norma hukum UU ditentukan oleh palu hakim MK. Vonis atas revisi UU KPK baru sangat mendekonstruksi hukum. Meruntuhkan bangunan hukum.  MK dianggap tidak linear dengan pemberantasan korupsi di Indonesia. Harapan publik pupus. KPK telah tamat dan mati. Berganti dengan KPK gaya baru.

Ada 7 Jucial Review dari Pemohon

MK memberikan vonis terhadap 7 uji materi dari para pemohon. Adapun 7 uji materi tersebut adalah No. 59/PUU-XVII/2019, No. 62/PUU-XVII/2019, No. 70/PUU-XVII/2019, No. 71/PUU-XVII/2019, No. 73/PUU-XVII/2019, No.  77/PUU-XVII/2019, dan No.  79/PUU-XVII/2019. Tolak ukur MK memberikan vonis berdasarkan 2 ukuran pokok yaitu formil (prosedur pembuatan UU) dan materiil (norma hukum berupa pasal-pasal dalam UU). Hasil secara umum uji materi tersebut, semua pertimbangan tentang formil MK menolak semua. Terhadap uji materiil MK memberikan tafsir dan mengabulkan sebagian saja. Vonis dibacakan pada tanggal 4 Mei 2021 atas norma hukum dalam UU KPK baru (No.19 Tahun 2019).

Jenis dan variasi putusan MK

Jenis putusan MK secara normatif ada 3 jenis yaitu Menolak (pasal UU sudah sesuai UUD 1945), Tidak Dapat Diterima (Pemohon tidak memiliki legal standing) dan Mengabulkan (sebagian atau seluruhnya dari Pemohon karena pasal UU tidak sesuai dengan UUD 1945). Hal ini pada intinya aturan UU MK dalam No.24 Tahun 2003, UU No.8 Tahun 2011 dan UU No.7 Tahun 2020. Seiring waktu dan dinamika ketatanegaraan terdapat variasi putusan MK yaitu Kondisional bersyarat (conditionally constitutional dan conditionally inconstitutional), Ultra Petita dan bahkan MK berhak menguji dan memberikan putusan adanya Perppu. Jenis dan variasi ini dapat dijadikan barometer memaknai dan arah pola pikir dari hakim MK.

Sifat putusan MK

Berdasakan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 sifat putusan MK adalah "final". Tidak mengikat. Idealnya memang dalam bingkai negara hukum dapat mengikat pada semua lembaga lain. Dalam praktek, putusan MK banyak dilanggar oleh DPR dan juga pemerintah. Sifat final putusan MK inilah yang menjadi dasar bahwa tidak ada upaya hukum lain lagi terhadap hasil judicial review dari UU KPK baru, sehingga UU tersebut resmi berlaku tanpa ada tafsir lagi.

Substansi penting putusan MK

Dalam pandangan Penulis sejak awal sebelum adanya revisi UU KPK, pada dasarnya ada 3 senjata KPK selama ini yang tajam dan efektif dalam pemberantasan korupsi yaitu Penyadapan, SP3 (bersifat formal karena ada dalam UUU) dan OTT (bersifat informal karena tidak ada dalam UU). Dalam pandangan Penulis, ketiganya memiliki dampak terhadap pemberantasan  korupsi di Indonesia. Khususnya sebelum adanya revisi UU KPK. Pasca adanya revisi, semua norma hukumya berubah. Harapan baru ada pada MK agar memberikan tafsir. MK telah memberikan putusan. Secara umum menolak dan tidak dapat diterima atas uji formil dan materiil (sebagian saja). Sisanya adalah ada 1 putusan yang mengabulkan sebagian uji materiil pada perkara No. 70/PUU-XVII/2019.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline