Lihat ke Halaman Asli

Langit Cahya Adi

Technical Assistant

Yang Tertinggal dalam Sains Kita: Wanita

Diperbarui: 2 Januari 2020   16:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

lIlustrasi Saintis Wanita | Sumber gambar: collegetransition.com

Kalau kita mengamati betul-betul, paling tidak ada dua hal di Indonesia yang saat ini menunjukkan gerakan maju dan senantiasa berkembang seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang didorong oleh kehadiran media sosial: Minat pada sains dan kepedulian pada isu-isu feminisme menyangkut  hak-hak wanita.

Besarnya perhatian akan dua aspek di atas merupakan hal yang patut diapresiasi tinggi-tinggi. Minat pada sains mengindikasikan bahwa ada kesadaran di antara sebagian masyarakat Indonesia untuk meninggalkan pemahaman mistis tentang dunia di sekitar dan lebih berpihak pada sifat rasionalitas alam itu sendiri.

Isu-isu feminisme pun tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan dan didiskusikan mengingat Indonesia masih belum ramah bagi perempuan. Studi feminisme juga menyadarkan kita bahwa diskriminasi berbasis gender masih terjadi di negeri ini sekaligus mendorong emansipasi wanita untuk mendapatkan kesetaraan, sebagai antitesis spirit patriarki yang masih merajalela di Indonesia.

Nah, di dalam meningkatnya minat orang Indonesia pada sains, sadarkah kita bahwa menurut data dari UNESCO (secara spesifik: UNESCO Institute for Statistics) yang diterbitkan pada Juni 2018, jumlah persentasi wanita yang bekerja sebagai ilmuwan di bidang sains hanya sebesar 30,6% saja dari keseluruhan ilmuwan yang ada? 

Salah satu negara tetangga kita, Malaysia, memiliki persentasi saintis wanita sebesar 48,6%. Artinya, di Malaysia, hampir ada kesempatan yang sama bagi wanita untuk jadi ilmuwan di bidang sains seperti halnya kaum pria.

Jumlah persentasi banyaknya saintis wanita Indonesia menunjukkan bahwa dunia sains di Indonesia pada dasarnya masih didominasi oleh pria. Hal yang memprihatinkan karena dalam bidang sains, yang dibilang sebagai penggerak kemajuan peradaban, kaum wanita di Indonesia masih belum bisa banyak berkontribusi. Patut disayangkan!

Pertanyaannya, mengapa? Apa saja sebab-sebabnya?

Untuk menjadi seorang peneliti yang serius di bidang sains, setiap person wajib menempuh pendidikan yang tinggi dan memiliki kontribusi ilmiah melalui penelitian yang cermat dan memiliki kebaruan yang tinggi. Tentu saja, jalan untuk mencapai pendidikan yang demikian adalah dengan melaluinya di universitas. 

Untuk dapat memberikan kontribusi ilmiah melalui riset, strata pendidikan doktoral harus dilalui, tidak cukup sekedar pendidikan magister atau malah hanya pendidikan sarjana saja. Mau tidak mau harus mau.

Agar mampu melalui pendidikan sains secara terstruktur dengan semestinya, pada umumnya seseorang menempuh pendidikan sarjana selama 4-5 tahun, pendidikan magister selama 2 tahun, dan pendidikan doktoral selama 3-5 tahun. 

Untuk kasus terakhir, durasi lamanya pendidikan biasanya berbeda-beda antara satu negara dengan negara yang lain jika pendidikan doktoral ini ditempuh di negara luar selain Indonesia, misalnya Amerika Serikat, Jerman, Perancis, atau Jepang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline