Mohon tunggu...
Langit Cahya Adi
Langit Cahya Adi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Technical Assistant

Technical Assistant || Universitas Gadjah Mada (2010-2015) Universite de Bordeaux-Perancis (2016-2018) Osaka Daigaku/Universitas Osaka-Jepang (2019-2022) || Twitter: @LC_Adi07

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Yang Tertinggal dalam Sains Kita: Wanita

1 Januari 2020   16:39 Diperbarui: 2 Januari 2020   16:52 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lIlustrasi Saintis Wanita | Sumber gambar: collegetransition.com

Saya pikir untuk menjadi ilmuwan sains yang sungguh-sungguh membutuhkan kesungguhan yang mendalam pula dan durasi pendidikan dari sarjana hingga doktoral baru awal saja.

Dan durasi waktu inilah yang sepertinya dibikin seolah jadi momok oleh kaum tradisional/konservatif terhadap para wanita Indonesia yang hendak menempuh karir sebagai saintis. 

Selama sekian dekade atau malah abad, wanita Indonesia diatur bahwa mereka harus menikah sebelum usia tertentu, misalnya antara 25-27 tahun. Jika mereka menikah lebih dari usia itu, mereka akan dicap dengan olokan misoginis seperti "perawan tua" atau "wanita tidak laku". 

Kita dapat melihatnya di sekitar kita. Atau malah kita ikut-ikutan menyebutkan pelecehan itu?

Selain itu, ada kecemasan bahwa dengan menjadi seorang ibu, seorang saintis wanita tidak akan bisa menjadi seorang ilmuwan yang baik. Seolah-olah, "wanita tidak dapat menjadi seorang ibu yang baik sekaligus ilmuwan yang mumpuni dalam satu sosok yang sama".  

Belum lagi wanita Indonesia selama ini ditakut-takuti dengan pernyataan bahwa semakin tinggi pendidikannya, maka akan membuat dia tidak menarik di hadapan lelaki karena para lelaki akan menjadi minder. 

Bukankah hal ini menyiratkan seakan-akan wanita hanya bernasib untuk dipinang lelaki saja sehingga apapun yang dia lakukan haruslah selama tidak membuat lelaki kehilangan perhatian padanya?

Dengan mencermati faktor-faktor umum di atas yang seringkali berkelindan, bisa jadi kita melihat bagaimana peran para feminis atau semangat feminisme sangat relevan. 

Pertama, berbekal semangat feminisme, para wanita Indonesa yang hendak berkecimpung di bidang sains secara aktif tidak perlu takut akan stigma dan prasangka masyarakat bahwa dengan menempuh pendidikan tinggi yang memakan waktu lama akan membuat mereka terlambat menikah.

Bagaimanapun, menikah adalah salah satu hal yang bersifat "pilihan" di dalam hidup yang tidak akan menentukan nilai diri (self worth) seorang wanita. 

Sebaliknya, sebagaimana manusia yang seharusnya, ilmuwan sains Indonesia justru dapat mengaktualisasikan kompetensi dirinya secara seutuhnya dengan cara menjadi saintis yang baik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun