Lihat ke Halaman Asli

Mas Gagah

TERVERIFIKASI

(Lelaki Penunggu Subuh)

Jika Mahasiswa, Dosen, dan Pemerintah "Gagal Membaca Buku"

Diperbarui: 24 Januari 2019   11:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://jakarta.tribunnews.com

Setiap masuk kelas, sering kali saya tanyakan pada mahasiswa, berapa buku yang dibaca setiap minggu? Kadang juga bertanya pada mereka, sudahkah sebelum berangkat kuliah, telah membaca buku atau koran?

Kenapa saya tanyakan tentang membaca koran, sebab mata kuliah yang saya ampu ialah ilmu komunikasi massa. Mata kuliah yang sangat terkait dengan dunia jurnalistik atau tulis menulis. Jika tidak membaca, bagaimana mungkin mereka bisa memahami dunia jurnalistik dengan baik.

Menurut laporan Tempo.co dan Republika.co.id, kemampuan membaca orang Indonesia nomor 60 dari 61 negara. Kita berada di bawah Thailand yang menempati urutan nomor 59. Kondisi ini menyebabkan indeks pembangunan manusia Indonesia nomor 133 dari 188 negara. Kenyataan ini sungguh memprihatinkan, melihat Indonesia sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang luar biasa.

Hari selasa kemarin, saya masuk kelas semester 7, menggantikan kawan yang tidak masuk untuk masuk. Kebetulan materinya adalah etika penulisan ilmiah. Mahasiswa semester 7, menurut kesimpulan saya, mereka sudah bisa menulis proposal penelitian dengan baik.

Jadi, saat saya masuk kelas, seharusnya tinggal diskusi. Tidak perlu lagi membahas teknik menulis skripsi dari aspek teknis, bahasa, maupun metodologi. Seperti biasa, saya jelaskan pada mahasiswa semester 7 tersebut, menulis skripsi itu sangat mudah, syaratnya adalah membaca.

Itu saja maharnya, jika tidak membaca buku, maka jangan berharap bisa menulis skripsi. Jikapun bisa menulis, biasanya dipaksakan, atau menulis seadanya sebagai syarat kelulusan. Kondisi paling parah karena tidak pernah membaca, menulis skripsi adalah hasil mengkloning milik orang lain. Apalagi sekarang jaman internet, cloning skripsi dari internet (google.com), sering saya temukan pada beberapa mahasiswa.

Pada sesi kuliah tersebut, kemudian saya melakukan diskusi dengan mahasiswa. Tema mengarah pada etika penulisan skripsi.

"Berapa buku metodologi penelitian yang sudah teman-teman baca?" Saya bertanya pada mahasiswa. Sejenak mereka terdiam dan tidak menjawab.

"Pak, saya boleh bertanya...?" Salah seorang mahasiswa tidak menjawab pertanyaaan saya. Malahan mengajukan pertanyaan kritis.

"Baiklah, silakan bertanya. Kalau bisa akan saya jawab. Kalau bisa nanti saya jawab minggu depan...?" Saya tersenyum padanya. Hal yang menarik adalah saat terlibat diskusi dengan mahasiswa. Dan, pertanyaan itu memang saya tunggu-tunggu.

"Pak, kenapa sih harus menulis skripsi kalau mau lulus kuliah?" Ia bertanya tanpa merasa berdosa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline