Konsep "hijrah" telah mengakar kuat dalam kesadaran umat Muslim. Secara tradisional, ia dipahami sebagai perpindahan fisik Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah untuk menyelamatkan akidah dan membangun peradaban baru. Namun, dalam konteks modern, makna hijrah telah meluas menjadi sebuah transformasi spiritual dan perilaku-sebuah perpindahan dari kondisi yang buruk menuju kondisi yang lebih baik, dari kemaksiatan menuju ketaatan. Di tengah krisis lingkungan global yang semakin mengkhawatirkan, lahirlah sebuah pertanyaan relevan: dapatkah konsep hijrah menjadi kerangka kerja spiritual untuk mendorong kepedulian dan aksi nyata terhadap lingkungan?
Jawabannya adalah iya. Mengintegrasikan semangat hijrah dengan etika lingkungan Islam tidak hanya memperkaya pemaknaan hijrah itu sendiri, tetapi juga menyediakan landasan teologis yang kokoh bagi gerakan lingkungan di kalangan umat Muslim. Inilah yang dapat kita sebut sebagai "Hijrah Lingkungan".
Memaknai Ulang Hijrah: Dari Fisik ke Perilaku
Makna hijrah yang lebih luas dan relevan untuk setiap zaman tertuang dalam sabda Nabi Muhammad SAW:
"Dan Al-Muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa esensi hijrah bukanlah sekadar perpindahan tempat, melainkan perpindahan perilaku. Ia adalah sebuah komitmen untuk meninggalkan segala bentuk larangan Allah. Dalam konteks lingkungan, kerusakan alam, adalah sesuatu yang secara eksplisit dilarang dalam Al-Qur'an. Allah SWT berfirman:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Rum: 41).
Ayat ini secara langsung mengaitkan kerusakan ekologis dengan ulah manusia. Oleh karena itu, berhijrah dari perilaku yang merusak lingkungan, seperti konsumerisme berlebihan, membuang sampah sembarangan, dan eksploitasi sumber daya alam tanpa batas, menjadi sebuah keniscayaan iman. Ini adalah bentuk hijrah dari "perbuatan tangan manusia yang merusak" menuju "kembali ke jalan yang benar".
Mandat Kekhalifahan dan Amanah Lingkungan
Islam menempatkan manusia sebagai khalifah fil ardh atau khalifah (pengelola) di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30). Status sebagai khalifah ini datang dengan sebuah tanggung jawab besar, yaitu amanah untuk menjaga dan merawat ciptaan Allah. Langit, bumi, dan gunung-gunung enggan memikul amanah ini, namun manusialah yang menyanggupinya (QS. Al-Ahzab: 72).
Menurut cendekiawan Seyyed Hossein Nasr dalam karyanya, Religion and the Order of Nature, agama-agama, termasuk Islam, secara inheren memiliki prinsip-prinsip yang menjaga kesucian alam sebagai manifestasi Ilahi (Nasr, 1996). Mengabaikan kesehatan planet berarti mengkhianati amanah yang telah dipercayakan Allah. Dengan demikian, hijrah lingkungan adalah proses menyadari kembali dan memenuhi mandat kekhalifahan ini. Ini adalah perpindahan dari kelalaian sebagai penjaga bumi menjadi seorang khalifah yang aktif dan bertanggung jawab.