Dua puluh lima tahun telah berlalu sejak Indonesia menerapkan desentralisasi melalui kebijakan otonomi daerah. Ini merupakan langkah historis yang mengubah wajah pemerintahan, dari yang sebelumnya bersifat sentralistik di bawah rezim Orde Baru menjadi lebih desentralistik, memberikan ruang bagi daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Namun, setelah seperempat abad, pertanyaan besar muncul: sudah sampai mana kemandirian daerah dalam mengelola dirinya?
Dari Sentralistik ke Desentralisasi
Indonesia dahulu dikelola dengan pendekatan top-down, di mana keputusan besar---termasuk soal pembangunan dan pengelolaan anggaran---diambil oleh pemerintah pusat. Sistem ini dinilai tak cocok untuk Indonesia yang sangat luas, berpenduduk ratusan juta, dan terdiri dari ribuan pulau dengan keragaman etnis, budaya, dan kondisi geografis.
Maka, sejak jatuhnya rezim Orde Baru, lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjadi tonggak penting desentralisasi. UU ini kemudian diperbarui beberapa kali, terakhir menjadi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuannya tetap sama: memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sesuai potensi dan aspirasi lokal.
Dinamika dalam Pelaksanaan
Pelaksanaan otonomi daerah tak lepas dari tarik ulur kepentingan antara pusat dan daerah. Di satu sisi, daerah menginginkan kemandirian; di sisi lain, pusat masih memegang kendali kuat, terutama melalui kebijakan fiskal dan regulasi strategis.
Tak hanya itu, dalam dua dekade terakhir, Indonesia sempat mengalami euforia pemekaran daerah. Ratusan daerah otonom baru (DOB) dibentuk, dengan harapan mendekatkan pelayanan publik dan mempercepat pembangunan. Namun, kenyataannya tak semua daerah baru berhasil mandiri.
Menurut catatan Kemendagri, dari 223 DOB yang dibentuk sejak 1999, sebagian besar masih bergantung pada dana pusat dan belum menunjukkan peningkatan signifikan dalam kesejahteraan masyarakat. Karena itu, pemerintah memberlakukan moratorium pemekaran wilayah sejak 2014. Alasannya jelas: mencegah pemborosan anggaran dan memastikan efektivitas pemerintahan daerah yang sudah ada.
Realita Kemandirian yang Masih Jauh
Dalam rapat kerja Komisi II DPR bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada 30 April 2025, terungkap data yang mengejutkan. Ketua Komisi II, Rifqinizamy Karsayuda, menyatakan bahwa hanya empat provinsi di Indonesia yang tidak tergantung pada dana dari APBN, sementara lebih dari 70 persen daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, masih sangat bergantung pada transfer dana pusat.
Kriteria ketergantungan tinggi ini didefinisikan sebagai daerah yang Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya di bawah 40% dari total APBD. Artinya, sebagian besar daerah masih belum mampu menggali potensi ekonominya secara optimal.
Situasi ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan otonomi daerah belum berjalan sebagaimana cita-cita awalnya. Kemandirian fiskal---yang seharusnya menjadi indikator keberhasilan otonomi---masih menjadi tantangan besar.
Apa yang Salah?