Bagi Generasi Z, nama Abu Nawas mungkin terdengar asing. Tetapi bagi generasi terdahulu, terutama mereka yang tumbuh di pesantren dan kampung-kampung muslim Nusantara, Abu Nawas bukan sekadar penyair klasik. Ia adalah suara hati manusia yang penuh dosa namun tak pernah berhenti berharap pada ampunan Allah.
Syair-syair Abu Nawas telah melintasi waktu lebih dari seribu tahun. Dari Baghdad pada masa keemasan Islam, sampai ke langgar-langgar kecil di kampung Nusantara, bait-baitnya masih dilantunkan dengan nada mendayu menjelang shalat Magrib atau Isya.
Siapa Abu Nawas?
Abu Nawas bernama lengkap Abu Ali al-Hasan bin Hani’ al-Hakami. Ia lahir sekitar tahun 747 M di Persia dan wafat di Baghdad pada 814 M. Ia hidup di masa Kekhalifahan Abbasiyah, era keemasan peradaban Islam ketika Baghdad menjadi pusat ilmu dan budaya dunia.
Sejak muda, ia dikenal sebagai penyair nyentrik. Syair-syairnya kerap mengangkat tema cinta, anggur, dan kehidupan duniawi. Namun ia juga berani menyindir penguasa dengan gaya humor yang cerdas. Menariknya, di penghujung hidup, syair Abu Nawas berubah drastis: dari penuh dunia, menjadi penuh doa dan penyesalan.
Syair Taubat yang Terkenal
Salah satu syairnya yang paling populer hingga kini berbunyi:
إِلٰهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلًا
وَلَا أَقْوَى عَلَى النَّارِ الْجَحِيمِ
“Ya Allah, aku bukanlah orang yang pantas masuk surga,
dan aku pun tak kuasa menahan pedihnya api neraka.”