Beberapa hari terakhir umat dikejutkan dengan kabar tragis: seorang imam masjid di Morowali Utara ditikam oleh jamaahnya sendiri saat memimpin shalat Subuh. Peristiwa ini bukan yang pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus serupa kerap muncul: imam masjid diserang, dianiaya, bahkan dibunuh di tempat ibadah yang seharusnya menjadi titik paling aman bagi umat.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius: mengapa penikaman, pembunuhan, penganiayaan, hingga bullying yang berujung kematian semakin sering terjadi? Jawabannya sederhana namun pahit: karena hukum di negeri ini lemah dan bisa dinegosiasikan.
Ketika Hukum Kehilangan Wibawa
Di banyak kasus, vonis untuk pelaku kejahatan berat sering kali terasa ringan. Ada pembunuh yang hanya dijatuhi hukuman beberapa tahun penjara. Ada kasus bullying yang menewaskan korban, tapi pelaku lolos dengan alasan masih di bawah umur. Bahkan, tidak jarang hukum bisa dilunakkan karena faktor kekuasaan, uang, atau lobi.
Keadilan pun kehilangan maknanya. Keluarga korban merasa dikhianati, sementara pelaku tidak benar-benar jera. Akibatnya, tindak kriminal sejenis terus berulang, seakan tidak ada pelajaran.
Inilah yang membedakan antara hukum positif hari ini dengan syariat Islam. Dalam Islam, pembunuhan atau penikaman dengan sengaja memiliki hukuman tegas: qishash (nyawa dibalas nyawa). Jika keluarga korban memaafkan, barulah ada pilihan diyat (tebusan darah) yang besar nilainya.
Allah ﷻ berfirman:
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 179)
Qishash bukan sekadar balas dendam. Ia adalah mekanisme hukum untuk menjaga kehidupan dan keamanan masyarakat.
Besarnya Diyat dalam Islam
Jika keluarga korban memaafkan dan memilih mengganti qishash dengan diyat, maka Islam sudah menentukan kadarnya. Untuk kasus pembunuhan sengaja, diyat penuh setara dengan 100 ekor unta.