Saat itu, pada jam istirahat, aku keluar kelas dengan langkah cepat,
mengejar suara tawa teman-temanku yang riuh di halaman sekolah.
Aku masih memegang sisa makanan di tangan, tapi rasa ingin tahu lebih besar
membuatku melangkah jauh, menembus keramaian anak-anak yang bermain.
Di halaman, teman perempuanku sedang bermain bersama beberapa kakak kelas.
Mereka asyik bermain lempar batu, seolah seluruh halaman sekolah milik mereka.
Temanku menatapku cemas, "Jangan ikut, nanti kena!" katanya cepat.
Tubuhku kecil, tapi aku tetap keras kepala ingin ikut. "Santai aja, aku bisa," jawabku sambil tersenyum.
Kami mulai melempar batu pelan-pelan dulu, batu melayang di udara dan jatuh di tanah.
Aku melihat batu yang dilempar kakak kelas meleset dan mengenai sepatu temanku.
Kami semua langsung menertawakannya. Rasanya seru, halaman sekolah terasa seperti tempat bermain yang tak ada batasnya.
Tapi tiba-tiba sebuah batu melesat terlalu cepat dan menghantam dahiku.
Aku terjatuh ke tanah dan merasakan panas darah yang mengalir deras.
Temanku langsung panik ketika melihat darah di kepalaku sudah membasahi tanah.
Aku menunduk, tanganku menutup luka kecil yang mulai basah dengan darah.
Para kakak kelas juga terlihat panik, wajah mereka pucat dan gelisah.
Guruku segera datang, menarik tanganku, dan membawaku ke UKS secepat mungkin.
Aku menoleh dan melihat para kakak kelas digiring ke kantor kepala sekolah, terlihat takut.
Mereka saling menatap, beberapa menunduk, mungkin menyesal atas kejadian itu.
Di UKS, aku duduk di bangku bersama guruku, sambil menunggu orang tuaku tiba.
Aku menangis pelan, rasa takut dan sakit bercampur jadi satu.
"Aku ikut main, terus kena batu, aku gak mau dijahit," kataku sambil menahan tangis.
Guruku menghela napas, mencoba menenangkanku, "Tenang, nanti ibumu akan datang."
Ibuku datang tak lama kemudian, wajahnya panik tapi lembut.
Dia memegang tanganku dan menatap luka di dahiku. "Kenapa bisa begitu?"
Aku mengulang lagi, "Aku ikut main, terus kena batu, tapi aku gak mau kepalaku dijahit."
Ibuku tersenyum lembut, "Kalau begitu kita biarkan saja, tidak perlu dijahit."
Kakak kelas yang membuatku kena batu datang sebentar ke UKS,
mereka terlihat menyesal dan meminta maaf. "Maaf, aku nggak sengaja," kata salah satu.
Aku hanya mengangguk, rasa sakit masih membuatku susah bicara.
Mereka pergi, dan aku kembali menatap luka kecil di dahiku, darahnya sudah agak berkurang.
Bekas luka itu tetap ada sampai sekarang, di tengah dahiku.
Sejak kecil, aku memang keras kepala, meskipun aku seorang perempuan.
Bekas luka di tubuhku bisa dibilang cukup banyak, tapi aku terbiasa dan tidak terlalu memikirkannya.
Kadang aku meraba dan tersenyum sendiri, ingat betapa kecil dan beraninya aku waktu itu.
Aku membayangkan lagi kakak kelas yang awalnya panik tapi kemudian tenang.
Dan rasanya lucu sekaligus sedikit takut kalau mengingat darah yang mengucur deras.
Hari-hari berikutnya, teman-temanku sering menanyakan bagaimana keadaanku.
Aku cerita lagi tentang kejadian itu, tentang batu yang melesat, dan darah yang deras mengalir.
Ternyata mereka juga kaget dan merasa bersalah karena ikut bermain.
Aku merasa lega karena mereka jujur dan minta maaf.
Sekolah kini terasa lebih hidup, setiap sudut mengingatkanku pada hari itu.
Aku bermain lagi dengan teman-teman, tapi lebih hati-hati, tidak ikut melempar batu sembarangan.
Aku belajar kalau seru itu boleh, tapi tetap harus waspada.
Bekas luka itu jadi pengingat yang mengingatkanku pada cerita lucu dan pengalaman bukannya rasa takut.