Lihat ke Halaman Asli

Mahir Martin

TERVERIFIKASI

Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Kasus Hukum Terkait SARA, Sebuah Kebiasan Intelektual dan Degradasi Moral

Diperbarui: 2 Februari 2021   12:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi rasisme (Ekaterina Minaeva via kompas.com) 

Minggu ini, dua kasus dugaan pelanggaran hukum terkait ujaran kebencian menyinggung Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) di media sosial ramai dibicarakan. Para pelakunya sudah dilaporkan ke kepolisian, bahkan ada yang sudah ditangkap.

Salah satu yang menjadi korban adalah Natalius Pigai, mantan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham), yang diolok-olok bernada rasisme oleh orang-orang yang tak suka dengannya. 

Selain itu, ada juga kasus ujaran kebencian yang menyinggung agama Islam. Mirisnya, yang melakukannya adalah seorang yang mengaku dirinya beragama Islam. Bahkan dirinya pernah mengaku sebagai kader organisasi masyarakat Islam terbesar di negeri ini.

Kasus SARA dan Kebiasan Intelektual

Sebagai pemerhati pendidikan, saya merasakan adanya  kebiasan intelektual (intellectual bias) yang terjadi pada kasus-kasus ini. Orang-orang tidak bisa membedakan dengan benar antara berpikir kritis (critical thinking) dengan kritik (criticism). 

Berpikir kritis memang sering sekali diasosiasikan dengan kritik. Padahal keduanya adalah hal yang berbeda, walaupun keduanya memiliki konsep yang bersinggungan.

Menurut filsuf pendidikan John Dewey, berpikir kritis (dinamakan olehnya reflective thinking) adalah berpikir dengan pertimbangan yang aktif, persisten, dan cermat atas keyakinan atau bentuk pengetahuan apa pun yang dianggap sebagai dasar yang mendukungnya, dan kesimpulan lebih lanjut dari apa yang cenderung dituju. 

Jika dalam penelitian, berpikir kritis adalah menganalisis fakta-fakta yang ada untuk sampai kepada sebuah keputusan. Intinya kita dituntut berpikir secara lebih hati-hati dan konstruktif dengan mengarah kepada sebuah tujuan (careful goal-directed thinking)[1].

Berpikir kritis juga melibatkan penilaian diri (judgement), yang dibenarkan dengan alasan dan bukti (reason and evidence).

Dalam sebuah artikel yang ditulisnya, Suzanne Manning membedakan antara berpikir kritis dan kritik. Ada tiga parameter yang digunakan untuk membedakannya.

Pertama, kritik adalah tentang menemukan kesalahan pada sesuatu. Berpikir kritis adalah tentang penilaian, yang dapat mencakup menemukan kesalahan dan kekurangan, tetapi lebih menekankan pada pertanyaan dan analisis. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline