Oleh: Mahar Prastowo
Saya tidak tahu apakah Anda pernah merasa seperti ini: menonton televisi, membaca berita online, melihat medsos, lalu diam. Bukan karena tidak punya pendapat. Tapi karena merasa semua sudah terlalu gaduh, dan lebih baik menepi.
Tapi diam itu ternyata berbahaya.
Itulah yang disebut revolusi senyap oleh M. Arief Pranoto, sebuah catatan tentang kudeta konstitusi di Kans News. Sebuah artikel pendek, tapi menggigit. Ia menulis dengan jujur: "Kita sedang diam. Entah kenapa. Dan saat kita diam, sistem bergerak sendiri. Entah ke mana."
Saya percaya, revolusi senyap ini nyata. Bukan demo jalanan. Bukan kudeta dengan senapan. Tapi lebih halus. Ia bekerja lewat algoritma. Lewat memes. Lewat kebiasaan malas membaca dan malas berpikir.
Dan ya---ia dimulai dari diamnya kita.
Mengapa Kita Diam?
Saya pernah datang ke sebuah desa di Mojokerto. Sebuah dusun yang dulu pernah aktif dengan karang taruna, diskusi malam Jumat, bahkan punya buletin sendiri. Kini? Sunyi. Balai desa dipakai untuk hajatan. Facebook dan TikTok mengambil alih ruang publik.
Yang menarik, bukan karena mereka tidak peduli. Tapi mereka merasa suara mereka tidak didengar. Lebih menyedihkan lagi: mereka tidak yakin suaranya layak didengar.
Itulah bahaya terbesar dari revolusi senyap: kita merasa tidak penting. Maka kita memilih diam. Dan dalam diam itulah kekuatan yang lain---entah algoritma, elite, atau kekuasaan---melenggang leluasa.
Diam adalah Izin
Dalam dunia hukum, silence is consent. Dalam dunia politik, apalagi. Ketika kita tidak menolak, maka mereka mengira kita setuju. Ketika kita tidak mengkritik, mereka merasa semua baik-baik saja.
Dulu, kritik datang dari media. Tapi media kini sibuk bertahan hidup. Rating. Klik. Ads. Buzzers. Lalu siapa yang bisa jadi penyeimbang? Masyarakat.