Lihat ke Halaman Asli

mad yusup

menggemari nulis, membaca, serta menggambar

Memahami Narasi sebagai Realitas

Diperbarui: 12 Oktober 2021   10:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ini bukan bahasan tentang konten 'Narasi'-nya Najwa Shihab yang keren dan kritis itu. Tetapi hendak mendedah ulang apa yang dibahas oleh dokter Ryu Hasan, ahli neurologi yang gemar menyebut dirinya dokdes (dokter bedhes) yang kini aktif wara-wiri di kanal youtube. Uraian yang menurut penulis bisa membuka mata kita terkait fenomena sosial di masyarakat. Bagaimana sebuah narasi tercipta dan hubungannya dengan realitas.

Dalam sejarahnya, nenek moyang kita yang pemburu-pengumpul itu senantiasa hidup dalam bahaya. Ancaman itu bisa datang dari makhluk lain yang lebih besar dan buas. Untuk itu kecepatan atau respons dalam bertindak mutlak diperlukan. Karena nyawa taruhannya. Lengah berarti maut. Ketika melihat ada semak-semak yang bergoyang misalnya, maka otak 'teori konspirasinya' bisa menganggap itu pasti ada harimau. Meski hanya mengarang-ngarang cerita, tapi dia akan selamat dengan peluang hidup yang lebih baik dibandingkan dengan yang sok-sok an dan tidak responsif.

Lah, bukankah ular juga akan refleks bereaksi ketika ada gerakan yang dicurigai membahayakannya? Tentu saja. Tetapi ular tak mungkin menceritakan kepada 'temannya' sesama ular bahwa di tempat itu ada ancaman. Atau primata seperti simpanse yang bisa mengeluarkan teriakan bahaya, tapi hanya pada saat itu saja.

Sementara manusia, sebagai satu-satunya makhluk di muka bumi ini yang diberi kemampuan berbicara dengan bahasa verbal, bisa menciptakan narasi sedemikian rupa kepada temannya agar menghindari tempat tersebut pada kesempatan lain. Meskipun itu belum tentu benar adanya. 

Kelebihan inilah yang akhirnya membuat membuat makhluk homo sapiens ini memiliki kecenderungan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak sesungguhnya. Kenapa? Karena ada manfaat, terutama bagi keselamatan dirinya maupun kelompoknya.

Berkat kemampuan berbahasa verbal pulalah manusia bisa bekerja sama satu sama lain tanpa saling mengenal dibandingkan dengan spesies lain yang punya batasan kelompok untuk saling hafal dan mengenal.

Namun dengan segala kelebihan itu kadang membuat kita mudah pula termakan dan dimanfaatkan untuk hal-hal yang sepele hanya karena ikatan emosional yang diciptakan dan diada-adakan sendiri.

Karena, meskipun dalam perkembangannya manusia berhasil membentuk sebuah nilai (value) yang mengenal baik dan buruk, namun sejatinya kita lebih tanggap terhadap ancaman atau bahaya daripada harapan. Semakin mengancam sebuah narasi yang didengar maka semakin dipercaya. Jadi jangan terkejut dan heran dengan merebaknya hoax.

Sebuah narasi, apakah itu sebagai konspirasi atau pun hoax yang berkembang seiring dengan nilai tersebut, seringkali pula ditafsirkan secara hitam putih. Padahal sebuah nilai tidak melulu dilihat dengan dikotomis benar atau salah. Baik atau buruk.

Bagi orang Jepang, makan mie dengan suara seruputnya yang khas tentu akan dianggap tidak sopan ketika diundang makan bareng dengan orang-orang di kampung penulis. Atau dari sudut kepercayaan, umat Hindu terlarang makan daging sapi sementara umat Islam melakukan kurban dengan -salah satunya- memotong sapi di hari raya Iduladha. Jadi sebuah nilai itu sendiri bisa menjadi bias. Itulah realitas yang sesungguhnya harus diterima sebagai kenyataan yang ada.

Keniscayaan Realitas

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline