Kasus penipuan menjadi salah satu persoalan hukum yang paling sering terjadi di tengah masyarakat. Bentuknya pun beragam, mulai dari janji manis dalam jual beli, investasi fiktif yang menjanjikan keuntungan besar, hingga tawaran kerja sama bisnis yang ujungnya justru merugikan. Dalam banyak kasus, korban tak hanya kehilangan harta benda, tetapi juga mengalami tekanan psikologis dan kehilangan rasa percaya terhadap sesama.
Lantas, bagaimana upaya hukum yang bisa ditempuh korban? Apakah cukup melaporkan pelaku ke polisi agar diproses secara pidana, atau masih ada ruang untuk menuntut ganti rugi lewat jalur perdata? Apakah keduanya bisa berjalan beriringan?
Langkah Pidana: Fokus pada Penghukuman
Dalam ranah pidana, penipuan termasuk delik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tepatnya dalam Pasal 378. Penipuan didefinisikan sebagai tindakan dengan tipu daya atau kebohongan yang membuat orang lain menyerahkan barang atau uang. Jika terbukti, pelaku dapat dipidana penjara hingga empat tahun.
Tujuan utama dari jalur pidana adalah untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan melindungi masyarakat dari tindakan serupa. Negara hadir sebagai pihak yang menuntut pelaku atas nama kepentingan umum. Namun, perlu disadari bahwa proses pidana tidak secara otomatis mengembalikan kerugian korban. Meskipun dalam beberapa kasus pengadilan bisa memutuskan restitusi, pelaksanaannya sering kali tidak maksimal dan tak sebanding dengan kerugian yang diderita.
Langkah Perdata: Fokus pada Pemulihan Hak
Berbeda dengan pidana, hukum perdata lebih berfokus pada kepentingan individu, dalam hal ini korban. Korban dapat mengajukan gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum. Melalui jalur ini, korban bisa menuntut penggantian kerugian, baik materiil maupun immateriil.
Misalnya, korban investasi fiktif bisa menggugat pelaku untuk mengembalikan uang yang sudah disetorkan, sekaligus meminta kompensasi atas kerugian non-fisik seperti tekanan mental, nama baik yang tercemar, atau hilangnya peluang usaha.
Bisakah Keduanya Ditempuh Bersamaan?
Jawaban singkatnya, bisa. Jalur pidana dan perdata memiliki tujuan berbeda sehingga dapat dijalankan secara paralel. Korban bisa melaporkan pelaku ke kepolisian untuk diproses secara pidana, dan pada saat yang sama mengajukan gugatan perdata di pengadilan negeri untuk menuntut ganti rugi.
Secara prinsip, hukum pidana hadir untuk menegakkan ketertiban dan melindungi masyarakat secara luas, sedangkan hukum perdata bertujuan mengembalikan hak-hak individu yang dirugikan. Oleh karena itu, satu perbuatan yang sama bisa menimbulkan dua konsekuensi hukum yang berbeda.