Lihat ke Halaman Asli

Luqman Rico Khashogi

Pengembara Ilmu

Snowplow Parenting

Diperbarui: 14 Februari 2025   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Istilah ini mulai populer sekitar tahun 2019, terutama setelah skandal penerimaan perguruan tinggi di Amerika Serikat yang melibatkan beberapa orang tua kaya yang dituduh menyuap untuk memasukkan anak-anak mereka ke universitas ternama.

"Beberapa ibu dan ayah yang kaya sekarang lebih seperti bajak salju: mesin yang terus melaju, menyingkirkan semua rintangan di jalan anak mereka menuju kesuksesan, sehingga mereka tidak harus menghadapi kegagalan, frustrasi, atau peluang yang hilang..." tulis Claire Cain Miller dan Jonah E. Bromwich dalam artikelnya How Parents Are Robbing Their Children of Adulthood, The New York Times, Maret 2019.

Meskipun konsep pengasuhan yang overprotektif telah ada sebelumnya, istilah ini memberikan metafora yang jelas tentang tindakan orang tua yang "membersihkan" setiap potensi hambatan dari kehidupan anak mereka. Stalder (2019), Dougherty (2021), dan Gupta (2023) adalah diantaranya menjelaskan kemudian dampak snowplow parenting terhadap perkembangan anak dan pendidikannya.

Benar, ini adalah gaya pengasuhan di mana orang tua secara aktif menyingkirkan semua tantangan atau rintangan yang mungkin dihadapi anak mereka, dengan harapan memberikan jalan yang lebih mudah menuju kesuksesan dan kebahagiaan.

Masalahnya, snowplow parenting berkontribusi terhadap peningkatan narcissistic entitlement syndrome, suatu kondisi psikologis di mana individu merasa bahwa mereka berhak mendapatkan perlakuan istimewa tanpa harus bekerja keras atau menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka. Daniel R. Stalder (2019) dari artikelnya Are We Overreacting to 'Snowplow Parenting'? menguatkan hal tersebut.

Dalam sosiologi, fenomena ini dapat dikaitkan dengan liquid modernity-nya Zygmunt Bauman (2000), yang menggambarkan masyarakat modern sebagai entitas yang serba cepat, tidak stabil, dan dipenuhi oleh individu-individu yang kurang mampu menavigasi ketidakpastian karena selalu dilindungi dari kegagalan.

Akibatnya, banyak anak yang tumbuh dalam pola asuh seperti ini merasa kesulitan dalam membangun jaringan sosial dan hubungan yang memungkinkan individu mencapai keberhasilan dalam masyarakat.

Ketika orang tua terlalu sering menyelesaikan masalah anak, mereka gagal mengembangkan agency; kapasitas individu untuk bertindak secara mandiri dan membuat pilihan yang bertanggung jawab. Mereka lebih rentan mengalami burnout syndrome ketika mereka akhirnya harus berhadapan dengan tantangan dunia kerja tanpa bimbingan langsung dari orang tua mereka.

Herbert Freudenberger (1974) mengamati bahwa individu yang mengalami burnout menunjukkan gejala seperti kelelahan, frustrasi, penurunan motivasi dalam bekerja, dan penurunan prestasi pribadi.

Dalam ekonomi neoliberal yang menuntut fleksibilitas dan inovasi, mereka cenderung mengalami kesulitan dalam menginternalisasi mekanisme disiplin diri yang diperlukan untuk bertahan. Banyak generasi muda kesulitan menavigasi gig economy, sebuah sistem kerja yang bergantung pada pekerjaan sementara dan kontrak fleksibel, karena mereka tidak terbiasa dengan ketidakpastian dan ketahanan mental yang diperlukan untuk bertahan di dalamnya.

Lebih jauh lagi, dalam lingkungan di mana orang tua terlalu protektif, anak-anak tidak terbiasa menghadapi aturan sosial yang lebih luas dan berisiko mengalami apa yang dikatakan seorang psikiater Amerika, Adolph Stern (1938) sebagai borderline personality disorder (BPD), yang ditandai dengan ketidakmampuan mengelola emosi dan membangun hubungan interpersonal yang stabil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline