Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk melewatkan Konferensi Tingkat Tinggi G7 di Kananaskis, Kanada, dan memilih bertemu Vladimir Putin di St. Petersburg pada 18-20 Juni 2025 telah mengundang perdebatan luas tentang arah diplomasi Indonesia.
Pilihan dianggap bukan sekadar jadwal yang bentrok, melainkan pernyataan politik yang bisa saja menggambarkan evolusi fundamental dalam interpretasi kebijakan luar negeri "bebas aktif" Indonesia di era multipolar. Keputusan itu tentunya menimbulkan pertanyaan tentang arah strategis Indonesia, yang dikenal dengan sikap 'non-aligned.'
Namun, alih-alih melihatnya sebagai penyimpangan dari tradisi diplomasi Indonesia selama ini, pilihan bertemu Putin justru mencerminkan pragmatisme dalam menghadapi realitas geopolitik yang semakin kompleks.
Evolusi Makna Bebas Aktif
Konsep "bebas aktif" yang diwariskan Mohammad Hatta pada 1948 kini menghadapi tantangan implementasi di era dimana netralitas absolut menjadi semakin sulit dipertahankan. Prabowo, yang mulai berkuasa 2024 lalu, telah berupaya mendiversifikasi aliansi negara alih-alih bergantung berat pada mitra Barat.
Keputusan untuk melewatkan G7 demi bertemu Putin mencerminkan upaya strategis untuk menyeimbangkan hubungan dengan berbagai pusat kekuatan global.
Pada 12 Juni, Prabowo mengumumkan bahwa ia akan melewatkan KKT G7 dan bertemu dengan Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong, Presiden Vietnam Lương Cường, dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Rangkaian pertemuan ini menunjukkan prioritas terhadap regional partnership dan South-South cooperation yang menjadi fokus diplomasi Indonesia era Prabowo.
Realisme Diplomatik vs Idealisme Barat
Kritik terhadap pilihan Prabowo seringkali berakar pada ekspektasi bahwa Indonesia, sebagai negara demokratis terbesar ketiga dunia, seharusnya secara otomatis beraliansi dengan nilai-nilai demokrasi liberal Barat.
Namun, Presiden Indonesia Prabowo Subianto pada Jumat menyangkal meninggalkan KTT G7 untuk mengunjungi Rusia. Prabowo lebjh menekankan bahwa ini bukan tentang menghindar dari Barat, melainkan tentang menjalankan diplomasi yang seimbang.