Lihat ke Halaman Asli

Ludiro Madu

TERVERIFIKASI

Dosen

Perdagangan Bebas RCEP di Tangan China

Diperbarui: 22 November 2020   15:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: Asia Briefing Ltd

Ketika seluruh dunia sedang dihadapkan pada pandemi Covid-19, 15 negara di Asia Pasifik menyepakati perjanjian perdagangan bebas dengan nama Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP). Perjanjian RCEP itu merupakan sebuah capaian besar dalam salah satu rangkaian konperensi tingkat tinggi (KTT) ke-37 ASEAN pada 15 November 2020 yang lalu.

Wajah-wajah optimis kelihatan jelas di antara delegasi 15 negara penandatangan RCEP itu. Kesepakatan itu diprediksi menyumbang 30 persen dari ekonomi global, 30 persen dari populasi global dan mencapai 2,2 miliar konsumen. Kesepakatan ini mencerminkan bahwa pandemi bukan merupakan penghambat bagi perkembangan ekonomi dunia menuju globalisasi ekonomi di kawasan Asia Pasifik

Arti Penting
Kesepakatan perdagangan bebas di tengah persoalan pandemi global ini menarik ditelisik lebih lanjut berkaitan dengan 8 faktor di bawah ini.

Pertama, RCEP mencerminkan semangat kerjasama di bidang perdagangan di antara 15 negara di wilayah Asia Pasifik. Ketika pandemi justru meningkatkan kecenderungan berbagai negara mengutamakan kepentingan nasionalnya, RCEP muncul sebagai salah satu bentuk kerjasama multilateral. Ada 10 negara anggota ASEAN ditambah China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Dengan penduduk sebanyak 2,2 milyar, RCEP menawarkan potensi pasar sangat besar yang bahkan lebih besar daripada Uni Eropa (UE).

Kedua, keanggotaan RCEP juga menarik untuk diperhatikan. Untuk pertama kalinya, tiga negara di Asia Timur (China, Jepang, dan Korea Selatan) berada di dalam sebuah kesepakatan bersama. Selama ini, ketiga negara itu cenderung saling menolak bekerja sama secara langsung, sehingga ketiga negara memang tidak memiliki mekanisme kerjasama trilateral di antara mereka bertiga. 

Aspek ketiga adalah keikutsertaan Australia dan Jepang. Kedua negara dikenal sebagai sekutu terdekat Amerika Serikat (AS). Kedua negara termasuk pendukung utama kerangka perdagangan bebas di Trans Pacific Partnership (TPP). Akibatnya, keikutsertaan kedua negara di RCEP menjadi pertanyaan ketika dihubungkan dengan kemungkinan perubahab kebijakan ekonomi global AS di bawah presiden baru Joe Biden. Pembicaraan khusus antara Presiden terpilih AS Biden dengan PM Jepang Yoshihide Suga dan PM Australia Scott Morisson (15/11/2020) mengindikasikan kemungkinan itu.

Keempat, RCEP mengatur 15 negara anggotanya dapat melakukan perdagangan bebas tarif untuk mempermudah mobilitas barang, jasa, modal, dan manusia di kawasan ini. Namun demikian, RCEP akan berbeda dari UE. RCEP tidak akan membuat sebuah aturan bersama seperti di UE mengenai standar pekerja atau sektor-sektor ekonomi tertentu yang kurang kompetitif di negara-negara anggota. Penentuan barang, jasa, dan modal yang dibebaskan dari tarif ini biasanya bersifat politis terkait dengan kebijakan nasional melindungi produk atau petani domestik, misalnya.

Kelima, kerangka perdagangan bebas RCEP akan berlaku dalam dua (2) tahun mendatang setelah ke-15 negara anggota melakukan ratifikasi di tingkat domestik. Di beberapa negara yang ratifikasi perjanjian internasionalnya melibatkan Parlemen, maka persetujuan Parlemen biasanya mencerminkan negosiasi antara kemauan politik dengan kepentingan nasional atau konstituen di negara masing-masing.

Kesiapan AS Di Bawah Presiden Biden
Keenam, kesepakatan RCEP ini semakin menegaskan bahwa ekonomi dunia tanpa AS ternyata tidak masalah. Hegemoni ekonomi AS tidak diperlukan dalam RCEP itu dan juga dalam TPP (yang telah ditinggalkan Presiden Trump sejak 2017). Walaupun Joe Biden telah terpilih sebagai presiden baru AS, dunia tampaknya lebih memilih berjalan sesuai titah Presiden Trump, yaitu tanpa kepemimpinan global AS, khususnya dalam perdagangan bebas. 

Banyak negara memang berharap AS di bawah Presiden Biden akan mengembalikan status AS sebagai pemimpin global.  AS diharapkan memulihkan aktivismenya di berbagai organisasi internasional dan inisiatif multilateral atau global lain, seperti dalam penanganan pandemi Covid-19. Walaupun Biden tampaknya akan mendorong kembali pertisipasi global AS, namun persoalan pandemi di dalam negeri tampaknya akan menjadi prioritas Biden. Akibatnya, harapan AS kembali menjadi pemimpin global tampaknya tidak akan berlangsung dalam waktu dekat.

Kemenangan China
Ketujuh, RCEP secara jelas menunjukkan kemenangan diplomasi ekonomi China di kawasan Asia Pasifik. Selama ini, China memperoleh protes dan perlawanan keras dalam konflik klaim di perairan Laut China Selatan dan penanganan pandemi Covid-19 (sejak awal penyebaran pandemi, pengembangan vaksin, dan isu vaksinasi global). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline