Sudah lebih dari dua dekade sejak lahirnya UU Tipikor di tahun 1999. Harapannya jelas: memberantas praktik korupsi yang kala itu merajalela di era Orde Baru, dan memulihkan perekonomian. Namun, ironisnya, setelah sekian lama berjalan, kasus korupsi tak kunjung tuntas, perekonomian kita tak kunjung stabil. Pertumbuhan ekonomi yang dulu sempat jadi kenangan manis, kini terasa semakin jauh dari jangkauan.
Mengapa bisa begitu? Penulis mencoba merefleksikan beberapa catatan yang mungkin bisa jadi bahan renungan bersama:
Pertama, korupsi yang tidak pernah tuntas berpotensi menurunkan kepercayaan pelaku ekonomi. Investor ragu, dunia usaha pun gamang. Wajar kalau akhirnya pertumbuhan ekonomi ikut melemah.
Kedua, ada kecenderungan pemberantasan korupsi tidak selalu tepat sasaran. Kealpaan atau kesalahan administratif kerap diperlakukan sama beratnya dengan korupsi. Akibatnya, stigma korupsi makin melekat pada birokrasi. Aparat pemerintahan jadi dipandang penuh curiga, wibawa turun, kepercayaan publik pun ikut luntur.
Ketiga, fokus kita terlalu berat di "pemberantasan", tapi "perbaikan" terlupakan. Seringkali, setelah ada putusan pengadilan, instansi terkait dibiarkan berjalan sendiri untuk memulihkan dirinya. Padahal, tanpa pendampingan yang sistematis, risiko pengulangan sangat besar.
Keempat, pemberantasan korupsi kerap ditampilkan seperti panggung prestasi. Kasus demi kasus diekspos besar-besaran, tapi tanpa narasi perbaikan yang sepadan. Akhirnya, citra pemerintah makin tercoreng, bukan semakin kuat.
Pemberantasan korupsi selama ini juga kerap berhenti pada pemulihan kerugian negara (asset recovery). Fokus utamanya adalah bagaimana uang negara bisa kembali, bukan bagaimana institusi yang terkena kasus dibenahi secara sistematis (institutional recovery).
Padahal, jika hanya sebatas mengejar aset, kita kehilangan kesempatan untuk membangun tata kelola yang lebih bersih. Institusi yang terseret kasus seakan dibiarkan memulihkan diri sendiri, padahal potensi bias dan kelemahan internalnya masih ada. Inilah celah yang membuat praktik serupa bisa berulang dan berpotensi "menular" ke institusi lainnya. Karena itu, pemberantasan korupsi seharusnya tidak berhenti pada asset recovery, tetapi juga harus diperluas menjadi institutional recovery, mendorong instansi terkait untuk melakukan perbaikan nyata dengan pendampingan sistemik.
Kalau dipikir-pikir, mungkin di sinilah PR kita bersama. Pemberantasan korupsi seharusnya tidak berhenti pada hukuman. Yang lebih penting adalah bagaimana kasus itu jadi pintu masuk untuk memperbaiki tata kelola. Bukan hanya pamer berhasil menangkap, tapi juga pamer kebaikan dan capaian keberhasilan perbaikan.
Bukankah itu yang sebenarnya kita harapkan sejak awal?