Di banyak kampung di Indonesia, ada satu pemandangan yang hampir tidak pernah absen dari setiap musyawarah atau pertemuan warga: teh hangat di atas meja. Cangkir-cangkirnya diletakkan dengan hati-hati, uapnya naik perlahan, dan aromanya menyebar menenangkan.
Biasanya, teh itu disajikan oleh perempuan---ibu-ibu yang sejak awal sudah sigap menyiapkan hidangan untuk para tamu yang datang membicarakan urusan kampung. Dalam setiap tegukan, ada keramahan, perhatian, dan sesuatu yang kita sebut kehangatan rumah.
Namun, bila diperhatikan lebih jauh, kehadiran teh dalam ruang sosial ini bukan sekadar minuman. Ia menyimpan makna yang lebih dalam: tentang siapa yang menyajikan, siapa yang menikmati, dan siapa yang berbicara di meja itu.
Dalam ruang musyawarah, perempuan sering hadir melalui secangkir teh---bukan dalam suara yang mengajukan pendapat, melainkan dalam kehangatan yang ia suguhkan. Teh menjadi simbol diam dari peran sosial yang sudah lama dilekatkan pada perempuan: lembut, sabar, dan melayani.
Sementara itu, di sisi lain meja, para lelaki membicarakan hal-hal besar---tentang tanah, tentang sawah, tentang keputusan kolektif. Dan di sela-sela obrolan, mereka meneguk teh yang sama, mungkin tanpa pernah memikirkan bahwa kehadiran minuman itu menyiratkan kisah panjang tentang relasi sosial dan gender di masyarakat.
Mungkin benar bahwa secangkir teh selalu membawa ketenangan, tapi ia juga membawa sejarah panjang tentang siapa yang berhak berbicara dan siapa yang diharapkan melayani.
Teh, Tradisi, dan Feminitas dalam Budaya Indonesia
Dalam kebudayaan Indonesia, teh selalu hadir sebagai bagian dari keramahtamahan. Di Jawa, tamu yang datang tidak akan pernah dibiarkan duduk tanpa suguhan teh. Di Sumatra, teh menjadi bagian dari setiap pertemuan keluarga.
Di Banjarmasin, teh mawar menjadi penanda kelembutan, sedangkan di Tegal dan Slawi, teh melati menjadi simbol kesegaran dan kebersamaan.
Teh bukan sekadar minuman, tetapi juga bagian dari bahasa sosial: ia berbicara tentang cara masyarakat kita memahami sopan santun dan peran sosial.
Namun yang menarik, sejak lama teh lebih sering dikaitkan dengan citra perempuan. Dalam iklan-iklan lama, misalnya, sosok perempuan sering ditampilkan sebagai penyaji teh dengan senyum lembut, mengenakan kebaya, seolah menegaskan bahwa teh adalah perpanjangan tangan dari sifat keibuan dan kehangatan rumah tangga.