Banjir bukanlah peristiwa baru di Indonesia. Hampir setiap musim hujan, masyarakat di berbagai daerah harus berhadapan dengan genangan, kerugian materi, hingga ancaman keselamatan jiwa. Sungai yang meluap akibat sedimentasi, penyempitan badan sungai, hingga alih fungsi lahan adalah faktor utama penyebabnya.
Dalam konteks inilah, normalisasi sungai menjadi salah satu solusi yang kerap ditempuh pemerintah daerah. Namun, normalisasi tidak cukup hanya dengan pengerukan atau pembangunan betonisasi semata.
Kini, pengendalian banjir menuntut inovasi, efisiensi anggaran, ramah lingkungan, serta melibatkan masyarakat sebagai aktor utama. Pemerintah daerah ditantang untuk merumuskan kebijakan yang lebih kreatif, adaptif, dan berkelanjutan.
1. Normalisasi Sungai: Dari Tradisional ke Pendekatan Inovatif
Secara umum, normalisasi sungai dipahami sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi alami sungai dengan mengurangi sedimentasi, memperlebar aliran, hingga memperkuat tanggul. Cara konvensional biasanya dilakukan dengan pengerukan skala besar atau betonisasi bantaran sungai, namun metode ini kerap membutuhkan biaya sangat tinggi dan dampaknya sering kali hanya jangka pendek.
Sebagai alternatif, kini mulai muncul inovasi seperti:
Sediment trap modular berbahan bambu untuk menahan endapan sebelum masuk ke aliran utama.
Bioengineering dengan menanam vetiver, bambu, atau pohon lokal yang mampu menahan erosi di bantaran sungai.
Pemanfaatan teknologi Internet of Things (IoT) berupa sensor untuk memantau tinggi muka air secara real-time.
Pendekatan ini tidak hanya lebih murah, tetapi juga bersifat low impact terhadap ekosistem sungai.