Lihat ke Halaman Asli

Kang Chons

Seorang perencana dan penulis

Menakar Komitmen Politik Pencapaian Agenda 21 (Refleksi Hari Lingkungan Hidup Sedunia)

Diperbarui: 6 Juni 2018   07:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : malahayati.ac.id

Pada ajang United Nations Conference atau Rio Summit di Rio de Jenairo, Brazil tahun 1992, Indonesia menjadi salah satu dari sekitar 178 negara yang menyepakati komitmen bersama tentang pencapaian Agenda 21. Agenda ini merupakan tindaklanjut penguatan komitmen global dalam menyikapi permasalahan lingkungan hidup melalui implementasi pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni integrasi kepentingan ekologi, ekonomi dan social dalam pengelolaan SDA dan lingkungan.

Setidaknya ada 4 (empat) pokok penting yang tertuang dalam Agenda 21, yakni pelayanan masyarakat (public service); pengelolaan limbah; pengelolaan sumberdaya tanah dan air; dan pengelolaan sumberdaya alam. Komitmen global ini memiliki arti penting sebagai bentuk transformasi pola pendekatan pembangunan. Walaupun, konsepsi pembangunan berkelanjutan hampir diseluruh negara dalam perjalanannya harus diakui belum sesuai dengan komitmen awal. Lantas kenapa bisa demikian? Jawabannya, bahwa konsep pembangunan berkelanjutan pada kenyataannya belum menjadi kebijakan politik negara. Kita bisa lihat, faktanya orientasi pembangunan masih fokus pada upaya-upaya menggenjot pertumbuhan (growth oriented).

Bagiamana dengan Agenda 21 Indonesia?

Pasca Rio Summit 1992, atau 26 tahun perjalanan komitmen bersama tersebut, kita perlu melihat sejauhmana capaian komitmen Agenda 21 yang telah dilakukan Indonesia, khususnya pada 4 (empat) poin pokok yang telah disebutkan di atas. Apakah sebatas komitmen, atau telah serius ditindaklanjuti melalui keberpihakan kebijakan politik? Saya mencoba membahas ke-empat poin pokok Agenda 21 yang telah menjadi komitmen Indonesia sebagai tujuan utama pelaksanaan pembangunan nasional dalam kurun waktu 26 tahun ini.

Pertama. Pelayanan Masyarakat (public service). Dalam hal ini, saya ingin fokus pada permasalahan kemiskinan, kenapa demikian, karena kemiskinan juga memicu terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup. Potret kemiskinan di perkotaan menjadi masalah social yang erat kaitannya dengan kualitas lingkungan hidup, tengok misalnya, pemukiman kumuh sporadis dibantaran sungai di kota-kota besar seperti Jakarta, dan Bandung menjadi fakta, bahwa  masalah  social menjadi pemicu munculnya masalah-masalah lingkungan. Kenapa bisa terjadi, karena faktanya justru penduduk miskin tidak memiliki akses pelayanan kesehatan, air bersih dan sanitasi lingkungan secara baik.

Sumber dari Kementerian Kesehatan (2013), mencatat bahwa secara keseluruhan penduduk Indonesia yang hidup dengan kondisi sanitasi buruk mencapai 72.500.000 jiwa, dimana mereka tersebar di perkotaan (18,2%) dan perdesaan (40%). Sebuah angka sangat besar, yang mencapai 30 persen dari seluruh jumlah penduduk di Indonesia. Sanitasi buruk berkaitan erat dengan prilaku hidup tidak sehat seperti buang air besar dan sampah secara sembarang, kondisi ini akan berdampak buruk terhadap kualitas lingkungan. Fenomena ini terjadi, karena aksesibiltas terhadap pelayanan sanitasi lingkungan yang sangat minim khususnya pada keluarga miskin. Saya rasa ini menjadi PR Pemerintah untuk serius menangani masalah ini. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menyusun road map program sanitasi berbasis masyarakat, ini tentunya harus betul-betul terimplementasi dengan baik dengan membuat model pendekatan yang sama di seluruh daerah.

Kedua. Pengelolaan limbah. Penurunan kualitas lingkungan hidup, karena dipicu oleh pencemaran akibat pembuangan limbah yang sporadis dan tidak terkelola dengan baik. Sebagai gambaran, ada 226 Kabupaten/Kota yang masih bermasalah dengan pengelolaan air limbah, dan 240 Kabupaten/Kota yang bermasalah dengan pengelolaan sampah (Kementerian Kesehatan, 2013). Masalah ini, ironisnya baru kita sadari setelah muncul ancaman terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Sebuah ketidaksadaran yang kronis!

Masalah persampahan, hingga saat ini masih menjadi masalah kronis yang urung terpecahkan dengan baik khususnya di wilayah perkotaan. Program 3 R (Reduce, Reuse, Recycle) masih belum maksimal dilakukan pada level masyarakat. Belum lagi konflik berkaitan dengan pemanfaatan ruang untuk tempat pembuangan sampai akhir, yang tak jarang justru konflik terjada pada lintas daerah. Permasalahan persampahan tanpa ada penyelesaian konkrit akan berdapampak pada kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Indonesia saat ini tengah menjadi sorotan dunia, karena menjadi negara dengan penyumbang sampah plastic di lautan terbesar kedua dunia (sumber : www.bbcnews.com). Letak geografis Indonesia sebagai jalur lintas Asia dan Australia, diduga memicu tingginya sampah plastic di Perairan. Bahkan, beberapa waktu lalu, sebuah video yang beredar di youtube menunjukan begitu banyak sampah plastic di salah satu periaran di Bali, yang nota bene sebagai daerah parawisata.

Hasil riset Jenna Jambeck, seorang peneliti dari Universitas Georgia, USA yang dipublikasikan tahun 2015 menyebutkan bahwa Indonesia menyumbang sampah plastic terbesar nomor dua dunia, dengan berat sampah yang disumbang mencapai 187,2 juta ton (dikutip dari www.kompas.com).

Akumulasi sampah plastic sangat berbahaya karena mengancap kesehatan manusia, alur pelayaran, dan yang paling miris yakni ancaman terhadap kehidupan biota laut. Indonesia harus berkomitmen untuk mereduksi sampah plastik ini, dengan langkah-langkah konkrit. Payung hukum terkait sampah plastic harus segera disusun, sebagai perangkat pengendalan, termasuk bagaimana menyusun sebuah skema model internalisasi biaya lingkungan bagi industri yang menghasilkan plastik, tanpa haru membebankan biaya lingkungan tersebut terhadap konsumen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline