Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Spot Belanja Lebaran, Cerminan Status dan Kecemburuan Sosial

Diperbarui: 9 Juni 2018   05:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Lebaran tahun lalu, terlihat sebuah keluarga kelas menengah ke atas mengantar keluarga besarnya yang berlebaran di kotanya. Keluarga kaya itu mengantar anggota-anggota keluarga besarnya ke sebuah pasar di tengah kota. Katakanlah pasar itu surganya belanja. Barang apa saja ada di sana. Harganya pun murah. Eits, ingat. Ada harga, ada kualitas. Murah harganya, rendah kualitasnya, terlalu ramai pasarnya.

Sementara para anggota keluarga yang semuanya kehidupannya pas-pasan, mulai memburu barang belanjaan. Sibuk menawar sana-sini dari satu penjual ke penjual lainnya. Mereka membeli sepatu, baju, dan makanan yang semuanya murahan dan kualitas rendah. Berjam-jam lamanya mereka belanja di tempat yang kelewat ramai itu. Tak peduli berjejalan dengan ratusan orang yang juga ingin berbelanja kebutuhan Lebaran.

Sementara para anggota keluarga kelas bawah asyik berbelanja, keluarga kaya yang mengantar mereka hanya diam dan menunggu dengan kesal. Jangankan ikut berbelanja, melihat kerumunan orang yang berdesakan dan tawar-menawar pun sudah membuat mereka bad mood. Salah seorang gadis berkulit putih dan berwajah oriental yang merupakan anak tengah dari keluarga kaya itu berkata,

"Hmmm...liatnya aja udah kesal. Heran ya, kok mau-maunya pada belanja di tempat beginian?"

Anak pertama, yang berhidung mancung dan berwajah perpaduan India, menimpali.

"Kita sih no way ya belanja di sini. Enakan belanja di FO atau sekalian di online shop yang udah terpercaya."

Tetiba saja, salah seorang anggota keluarga menghampiri keluarga kaya yang mengantar mereka. Si anggota keluarga ini akan menjalani prosesi lamaran setelah Lebaran nanti. Ia minta diantarkan ke penjual makanan khas kota ini. Inginnya membeli oleh-oleh dan hantaran untuk calon suaminya.

Dengan tubuh lelah dan hati kesal, keluarga kaya mengantarnya ke penjual yang dimaksud. Di sana pun mereka hanya mengantar, tidak ikut membeli makanan. Mereka memang sering mengirim oleh-oleh untuk rekanan dan orang terkasih, tapi jelas belinya tidak di sini. Kalau ingin beli oleh-oleh untuk diberikan pada rekanan dan orang terkasih, mereka lebih memilih beli di toko kue dan toko oleh-oleh yang berlokasi di kawasan elite di tengah kota. 

Kata mereka, rasanya lebih enak, kualitasnya lebih bagus, meski harganya jauh lebih mahal. Bahkan, si anak ketiga dari keluarga itu, yang matanya biru dan mirip orang bule, pernah membelikan coklat-coklat mahal untuk sosok tampan yang menginspirasinya. Dan jelas, coklat itu produk asli dari negerinya. Bukan membeli versi Kwnya atau semacamnya. Mereka takkan mau membeli oleh-oleh atau hadiah secara sembarangan.

Lama-lama, keluarga kaya itu tak betah mengantar keluarga besar mereka. Ingin rasanya segera mengakhiri kunjungan. Tapi, ternyata si anggota keluarga yang akan dilamar itu malah lanjut terus dengan membeli baju yang akan ia pakai dalam acara lamaran. Sudah mendapatkan baju yang cocok, harganya terlalu mahal. Uangnya tak cukup. Lalu, si anak tengah yang wajahnya oriental, menawari untuk membayari dengan memakai uangnya dulu. Tapi si anggota keluarga itu menolak. Diputuskannya mencari baju lain yang semodel dengan harga lebih murah. Alhasil, keluarga kaya harus menunggu lagi, dengan sabar. Sambil bersandar ke dinding pasar, si ibu dari keluarga kaya berkata.

"Kasihan ya dia...mau persiapan lamaran, budgetnya ngepas gitu."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline