Lihat ke Halaman Asli

LM Yakdatamare Yakub

Studure in sempiternum

Islam Universal Sebagai Basis Etik Transformasi Sosial Islam Indonesia & Spirit Pembangunan Masyarakat Serta Negara

Diperbarui: 20 Mei 2025   22:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto dr. L.M. Yakdatamare Yakub (Sumber : Pribadi)

Oleh

dr. L. M. Yakdatamare Yakub, S.Ked
Mahasiswa Program Studi Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum
Konsentrasi Hukum Kesehatan Universitas Islam Nusantara

Di tengah arus deras modernitas yang sering kali membutakan nurani, pembangunan bangsa perlahan menjelma menjadi ritual teknokratis yang kehilangan jiwa. Bangunan ekonomi menjulang, namun di sekitarnya, kesenjangan sosial menganga; indeks pembangunan meningkat, tetapi krisis identitas justru kian dalam. Di antara kebingungan itulah, muncul kegelisahan mendalam yang menggugat akar: di manakah letak nilai dalam pembangunan kita? Islam, dalam kemurnian universalitasnya, hadir bukan hanya sebagai sistem kepercayaan ritualistik, tetapi sebagai etos peradaban yang memanggil umat manusia untuk menapaki jalan kebaikan yang menyeluruh jalan yang menyatukan antara langit dan bumi, antara spiritualitas dan struktur sosial. Maka pertanyaan mendasarnya adalah: beranikah kita memandang Islam bukan hanya sebagai agama ibadah, tetapi sebagai kerangka etis yang mengilhami transformasi sosial dan pembangunan bangsa?


Konsep Islam universal tidak lahir dari ruang steril atau dogma yang membeku, melainkan tumbuh dari pergulatan sejarah panjang umat yang mencari makna dalam keberagaman, keadilan, dan kasih sayang. Nilai-nilainya adl (keadilan), rahmah (kasih sayang), ukhuwah (persaudaraan), dan amanah (tanggung jawab) bukanlah sekadar istilah normatif, tetapi merupakan kompas moral yang melintasi batas geografis, suku, dan zaman. Islam dengan wajah universalnya mengajarkan bahwa keadaban bukan hanya terletak pada kemajuan materi, melainkan pada cara kita memperlakukan sesama dan alam semesta. Di negeri seperti Indonesia, yang kaya akan perbedaan dan sejarah luka kolonialisme, nilai-nilai Islam universal memiliki relevansi mendalam sebagai fondasi etik untuk membangun bangsa yang tidak hanya sejahtera secara ekonomi, tetapi juga adil secara sosial dan utuh secara spiritual.


Dalam perjalanan intelektual Islam Indonesia, kita menemukan suluh terang dari para pemikir besar seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Syafii Maarif tiga sosok yang bukan hanya menjadi pemikir, tetapi juga penafsir zamannya. Cak Nur membuka jalan bagi Islam yang berpikir terbuka, yang merangkul akal dan kemanusiaan sebagai bagian tak terpisahkan dari iman.  Gus Dur, dengan kebesaran jiwanya, menempatkan pluralisme dan demokrasi sebagai ekspresi tauhid dalam ranah sosial.  Sedangkan Buya Syafii Maarif menekankan bahwa tak ada gunanya keberagamaan yang gemerlap jika abai terhadap realitas ketimpangan dan penderitaan rakyat.  Ketiga tokoh ini menegaskan bahwa Islam yang universal bukanlah milik satu golongan atau tafsir tunggal, melainkan taman luas tempat seluruh nilai kebaikan bisa tumbuh dan berbuah.


Namun sayangnya, pembangunan nasional kerap kali mengabaikan akar spiritual masyarakatnya. Ia tumbuh seperti pohon besar yang daunnya rindang, tetapi akarnya keropos rapuh oleh ketidakadilan, tercerabut dari nilai-nilai luhur. Dalam kerangka pembangunan seperti ini, agama menjadi sekadar pelengkap disebut dalam pidato, tapi tak hadir dalam kebijakan. Padahal, Islam sejak awal bukan hanya bicara tentang surga dan neraka, tetapi tentang keadilan sosial, distribusi kekayaan, keseimbangan ekologis, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Konsep rahmatan lil alamin bukanlah puisi kosong; ia adalah mandat peradaban yang menuntut kita untuk menempatkan kasih sayang, keadilan, dan keberlanjutan sebagai roh dari setiap proses pembangunan.


Untuk itu, transformasi sosial berbasis Islam universal bukanlah semata usaha pembaruan hukum, melainkan revolusi kesadaran. Ia menuntut kita untuk kembali membaca teks-teks suci dengan mata yang peka terhadap realitas dan hati yang jernih dari syahwat kekuasaan. Islam tidak boleh dibaca sebagai perangkat dominasi, tetapi sebagai energi pembebasan. Sebagaimana Arkoun nyatakan, Islam harus dihidupkan melalui pendekatan hermeneutik-kritis yang merangkul sejarah, bahasa, dan konteks sosial.  Amar ma'ruf nahi munkar harus dimaknai bukan sekadar larangan individual, tetapi sebagai strategi sosial yang memutus mata rantai ketimpangan, menantang hegemoni kekuasaan, dan membela mereka yang terpinggirkan.


Namun, meletakkan Islam universal sebagai landasan etika pembangunan bukanlah perkara sederhana. Ia menuntut keberanian moral dan kepekaan spiritual dalam mengolah ruang publik yang selama ini didominasi oleh rasionalitas ekonomi dan pertimbangan politis.  Kita menyaksikan bagaimana etika seringkali dikalahkan oleh logika elektoral, bagaimana kepentingan umat terpinggirkan oleh tarik-menarik kekuasaan. Padahal, jika Islam benar-benar dihayati secara substantif, ia mampu menembus sekat-sekat ideologis dan menyatukan energi bangsa untuk satu tujuan luhur: menciptakan kehidupan yang adil, damai, dan beradab. Di sinilah diperlukan suatu pergeseran paradigma, dari pembangunan sebagai eksploitasi sumber daya menjadi pembangunan sebagai pengembangan manusia manusia yang utuh secara spiritual dan sosial.


Dalam tatanan global hari ini, ketika neoliberalisme memicu dehumanisasi dan individualisme ekstrem merusak tatanan komunal, etika Islam universal justru menawarkan ruang resistensi yang lembut namun kuat. Ia bukan melawan dengan kekerasan, melainkan dengan kasih sayang yang terorganisasi. Ia tidak membalas kezaliman dengan kebencian, tetapi dengan struktur sosial yang adil dan beradab. Islam tidak menolak modernitas, tetapi menawarkannya kembali dalam bentuk yang manusiawi. Maka, membumikan Islam universal bukanlah gerakan purifikasi, melainkan proyek emansipasi. Ini adalah proyek kolektif untuk memulihkan makna hidup dalam masyarakat yang sedang kehilangan arah.


Etika Islam universal juga menantang kita untuk menyusun ulang relasi antara negara, agama, dan rakyat. Negara tidak boleh menjadi wasit yang berpihak, apalagi menjadi alat legitimasi bagi tafsir agama tertentu. Sebaliknya, negara harus menjadi arena yang memungkinkan nilai-nilai etis dari berbagai tradisi, termasuk Islam, untuk tumbuh dan bersinergi.  Dalam konteks ini, Islam universal bukan alat hegemonik, tetapi sumber nilai untuk membangun sistem hukum, ekonomi, dan pendidikan yang adil. Ia harus hadir tidak dengan wajah yang memaksa, tetapi dengan laku yang menyembuhkan. Seperti air yang mengalir, ia membentuk tanpa memaksa, menghidupi tanpa merusak.


Transformasi sosial yang ditawarkan oleh Islam universal juga meniscayakan kerja-kerja kultural.  Perubahan tidak akan berarti tanpa perubahan cara berpikir, cara merasakan, dan cara merawat relasi antar manusia.  Oleh karena itu, seni, sastra, pendidikan, dan media harus menjadi medium baru untuk menebarkan nilai-nilai etis Islam. Kita tidak bisa berharap pada hukum dan kebijakan semata untuk membentuk masyarakat madani.  Nilai tidak ditanam lewat ceramah saja, melainkan lewat teladan, pengalaman, dan narasi. Islam universal harus menjadi cerita kolektif yang hidup dalam kesadaran bangsa kisah tentang cinta yang membebaskan, bukan dogma yang membelenggu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline