Suatu kali di depan kanfas, tangannya memegang kuas yang ditariknya ke atas dibiarkan berlama - lama tergantung, seperti sudah terbiasa atau memang ahli, ia dapat menahan lengannya tak bergerak. Sedang matanya memutar sebidang ruang datar berwarna putih, lalu dibayangkannya sebuah wajah berada di sana, dengan senyum tersungging yang tak mampu dijelaskannya dengan kata - kata.
Di tarik garis lurus dari atas kebawah, digeserkan kuas itu dari kanan ke kiri, hampir saling bersinggungan kedua garis itu ia lalu berhenti, ah terlalu kaku, katanya dalam hati. Kanfas itu digeser, kini tubuhnya dapat nampak dari sudut penonton, tak utuh hanya setengah badan lalu ia kembali mengernyitkan dahi, mencari titik pertemuan antara estetika dan etika melukis dengan dua buah garis yang terlanjur ia gores memanjang, hampir membentuk sebuah gasing yang berpusing.
Tangannya kembali terangkat, matanya kini terpejam begitu dalam. Melukis bukan hanya sekedar imajinasi, ia berfikir lebih dalam bahwa seni bukan sekedar khayalan, matanya semakin dalam tenggelam dalam gelap, tubuhnya tetap tenang, dengan lengan tertahan menggantung di udara.
"Ada apa?"
"Apa kau telah kehilanganku?"
"Tidak aku tidak kehilanganmu!"
"Maksudmu?
"Andai saja"
"Andai saja apa?"
"Andai saja aku kehilanganmu"
"Aku masih di depanmu!"