Ketika berbicara tentang investasi, sebagian besar orang akan langsung terbayang saham, obligasi, atau mungkin aset digital seperti kripto. Namun, tahun 2025 membawa dinamika baru: dunia finansial mulai menoleh serius pada investasi hijau, terutama yang terkait dengan perkebunan berkelanjutan. Menariknya, yang memimpin gerakan ini bukanlah para pemain lama, melainkan Generasi Z dan petani milenial yang membawa semangat segar, teknologi, dan kesadaran lingkungan ke tengah lahan pertanian.
Generasi ini dikenal sebagai digital native. Mereka lahir dan tumbuh bersama gawai, media sosial, dan internet. Maka tak heran, saat mereka turun ke kebun, teknologi pun ikut masuk. Bayangkan sebuah perkebunan kakao di Sulawesi Barat yang dikelola oleh anak-anak muda: kelembapan tanah dipantau sensor IoT, pemupukan dilakukan drone presisi, sementara catatan panen tersimpan rapi dalam aplikasi berbasis blockchain.
Kisah nyata itu ada di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Di sana, Rikolto (sebuah organisasi non-profit internasional yang bergerak di bidang pengembangan sistem pangan berkelanjutan) bersama mitra lokal membina komunitas petani kakao milenial. Mereka tidak hanya belajar cara menanam, tetapi juga cara menembus pasar global. Kakao yang dihasilkan difermentasi sesuai standar internasional, dikemas dengan branding yang kuat, lalu dipasarkan dengan memanfaatkan jaringan digital. Produk mereka bahkan mulai masuk ke Jepang dan Eropa, dua pasar yang sangat ketat soal standar keberlanjutan. Cerita ini menunjukkan arah baru, petani milenial bukan sekadar penerus lahan, tapi juga pionir perubahan.
Mereka membawa gawai ke kebun, mengoperasikan drone untuk pemupukan, hingga memanfaatkan platform digital untuk mencatat hasil panen. Perkebunan yang dulu identik dengan cangkul dan pupuk kimia, kini menjadi laboratorium kecil tempat teknologi dan keberlanjutan bersatu.
Dalam dunia investasi, keberlanjutan kini menjadi nilai tambah yang nyata. Kakao yang ditanam dengan sistem agroforestri, memadukan pohon kakao dengan tanaman keras lain. Mampu menjaga kesuburan tanah sekaligus menyerap karbon lebih banyak. Hasilnya, produk ini bisa dijual lebih mahal karena memenuhi syarat fair trade dan sustainable product. Dari sisi finansial, tren ini menjanjikan. Laporan Global Sustainable Investment Alliance (GSIA) mencatat, nilai investasi berkelanjutan global sudah menembus lebih dari US$ 35 triliun pada awal dekade 2020-an dan diproyeksikan terus meningkat hingga 2025.
Tentu saja, jalan menuju perkebunan berkelanjutan tidak selalu mulus. Salah satu kendala terbesar adalah biaya sertifikasi seperti ISPO, RSPO, atau Rainforest Alliance yang tidak murah, apalagi bagi petani kecil. Selain itu, akses modal juga masih terbatas. Banyak anak muda yang punya semangat, tapi kesulitan mendapatkan pembiayaan untuk mengembangkan kebun modern. Di sinilah peran investor, lembaga keuangan, dan pemerintah menjadi penting. Skema pembiayaan berbasis keberlanjutan, pendampingan teknis, hingga kemitraan dengan industri hilir bisa menjadi solusi.
Belajar Jadi Agropreneur (Sumber: https://bit.ly/41TXJwf)
Menariknya, Generasi Z tidak lagi melihat diri mereka hanya sebagai petani. Mereka menyebut diri sebagai agropreneur, gabungan antara petani dan entrepreneur. Mereka tidak puas hanya dengan menanam dan menjual bahan mentah, melainkan juga mengolah, mengemas, hingga memasarkan produk langsung ke konsumen. Kopi organik dari Jawa Barat yang dipasarkan lewat e-commerce, kakao fermentasi Sulawesi yang dikirim ke Eropa, atau minyak kelapa sawit ramah lingkungan yang diolah jadi energi biofuel. Semua adalah contoh nyata bagaimana generasi muda mengubah paradigma.
Dari sudut pandang finansial, investasi di perkebunan hijau memiliki dua keuntungan sekaligus: stabilitas jangka panjang dan nilai tambah berkelanjutan. Produk berkelanjutan punya pasar global yang kuat, sementara lahan yang dikelola secara ramah lingkungan cenderung lebih tahan terhadap perubahan iklim dibandingkan lahan yang dieksploitasi berlebihan. Generasi Z mengajarkan kita satu hal penting: bahwa bertani bukan pekerjaan kuno, melainkan investasi masa depan. Mereka menanam bukan hanya untuk mengisi pundi-pundi hari ini, tetapi juga untuk memastikan bumi tetap layak dihuni esok hari.
Mungkin, di tengah hiruk pikuk saham dan kripto, kita perlu melirik ke kebun. Karena bisa jadi, masa depan finansial kita justru tumbuh dari tanah yang subur, dari pohon-pohon kakao, kopi, atau sawit yang ditanam dengan cinta pada bumi.