Lihat ke Halaman Asli

Acek Rudy

TERVERIFIKASI

Palu Gada

Misteri Porsi Nasi Padang, Beda di Tempat, Beda Dibungkus

Diperbarui: 24 Januari 2021   07:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Porsi Nasi Padang (sumber: tribunnews.com)

Kuliner Indonesia memang terkenal. Meski popularitas internasionalnya masih kalah dengan makanan Thailand, tapi siapa pun yang mencobanya pasti setuju. Enak!

Rendang termasuk salah satu yang mengangkat nama besar masakan Indonesia. Ia dinobatkan sebagai peringkat pertama Top 50 Most Delicious Food versi CNN International tahun 2011.

Jika berbicara mengenai rendang, tidak terlepas dari masakan padang. Sementara untuk menikmati masakan padang, tempat yang paling pasti adalah rumah makan padang.

Masuk ke restoran padang disuguhkan oleh berbagai jenis pilihan, amboi rasanya. Duduk sendiri di pojokan, menikmati campuran gulai dengan nasi putih, lamak rasanya.  

Berbicara mengenai keragaman menu rumah makan padang, nasi putih bukan hanya pelengkap saja. Ia adalah menu utama yang harus disantap bersama-sama. Coba bayangkan jika masakan berkari dimakan tanpa nasi, bagaimana rasanya?

Bagi yang jeli, apakah kamu pernah menyadari bahwa porsi nasi putih pada saat dibungkus bawa pulang jauh lebih banyak daripada makan di tempat?

Ternyata hal ini ada hubungan dengan sejarah bangsa Indonesia sendiri. Konon di zaman Belanda yang bisa menikmati masakan padang di rumah makan hanyalah warga elit, seperti saudagar kaya dan kaum kolonial Belanda. (merdeka.com)

Namun, pemilik rumah makan ingin agar masyarakat biasa juga dapat menikmati masakan tradisionalnya sendiri. Untuk itu, diakalilah dengan cara dibungkus. Porsi nasinya kemudian diperbanyak, agar semakin banyak rakyat bisa menikmatinya.

Akan tetapi, masih dari sumber yang sama, ada versi yang berbeda. Menurut Yurizal, sastrawan asal Padang, kebiasaan ini tidak lain hanya persoalan biaya pelayanan. Jika makan di tempat, biaya pelayanan tentu jauh lebih mahal.

Yurizal juga menambahkan bahwa di kota Padang, membeli makanan apa pun kalau di bawa pulang memang jauh lebih banyak porsinya. Ini hanyalah masalah kebiasaan tanpa ada hubungannya dengan sejarah.

Pernyataan Yurizal juga sejalan dengan Dedi, pemilik rumah makan di kawasan Kedoya, Jakarta. Ia mengatakan bahwa porsi tersebut sudah turun menurun, sekedar budaya, dan dirinya hanya mengikuti saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline