Lihat ke Halaman Asli

Kholid Harras

Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Tanda Belasungkawa: Karangan Bunga vs Sedekah dan Doa

Diperbarui: 5 Oktober 2025   06:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto : Rumah BJ Habibie Banjir Karangan Bunga, dari Pejabat Negara hingga Mahasiswa 

Kematian selalu datang seperti denting lonceng yang tiba-tiba memecah keheningan. Ia memutus percakapan, menghentikan rencana, dan mengingatkan betapa hidup hanyalah persinggahan yang singkat. Saat itu tiba, duka melanda, dan keluarga yang ditinggalkan pun tenggelam dalam kesedihan yang dalam.

Lalu, manusia mencari bahasa untuk menyampaikan simpati dan tanda berbelasungkawa: ada yang hadir dengan doa, ada yang datang dengan pelukan, dan ada pula yang memilih mengirimkan karangan bunga yang berjajar di depan rumah duka.

Karangan bunga memang memikat pandangan. Warnanya cerah, bentuknya tertata, bahkan sering kali disertai tulisan yang sopan dan penuh penghormatan. Namun, keindahan itu hanya bertahan sebentar. Bunga akan layu, papan styrofom  akan rapuh, dan plastik yang menopangnya akan berakhir sebagai sampah.

Dari sinilah muncul pertanyaan: apakah bunga benar-benar mampu menyampaikan cinta dan kepedulian yang tulus, atau hanya simbol formalitas yang terasa kosong?

 

Islam dan Wajah Empati yang Hidup

 

Islam mengajarkan bahwa belasungkawa adalah tentang kehadiran nyata, bukan sekadar simbol. Dalam sejarah Islam, tidak dikenal tradisi mengirim karangan bunga sebagai tanda duka. Yang dilakukan adalah hadir bersama keluarga yang ditinggalkan, memberi penghiburan dengan kata-kata lembut, menyiapkan makanan, serta mendoakan almarhum.

Empati dalam Islam bernapas melalui tindakan sederhana yang langsung menyentuh hati, bukan melalui benda yang hanya memanjakan mata namun akan berakhir dalam kemubaziran.

Belasungkawa sejati adalah doa yang tulus, sedekah yang mengalirkan pahala bagi yang telah pergi, dan uluran tangan yang meringankan beban keluarga. Ketika duka melanda, yang dibutuhkan bukanlah papan besar bertuliskan ucapan, melainkan pelukan hangat, sahabat yang bersedia mendengar, atau tetangga yang hadir dengan makanan hangat di meja. Itulah empati yang hidup, yang diwariskan dari teladan Rasul.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline