OLEH: Khoeri Abdul Muid
Bagian 3: Pertarungan Sahabat dan Tipu Muslihat
Pedang beradu, percikan api beterbangan. Pancapana dan Indrayana kini terjebak dalam pertarungan yang sesungguhnya. Amarah Pancapana meledak, bukan hanya karena dendam masa lalu, melainkan juga cemburu yang selama ini ia pendam.
"Dasar serakah!" bentak Indrayana, menahan tebasan sahabatnya. "Kau sudah mendapatkan hati Candradewi, mengapa masih menginginkan segalanya?"
"Dan kau," Pancapana membalas dengan suara bergetar, "kau hamba yang tidak setia! Kau ingin menguasai kemuliaan yang seharusnya menjadi hakku!"
Mereka bertarung bukan hanya dengan senjata, melainkan juga dengan kata-kata yang melukai lebih dalam dari bilah pedang. Candradewi hanya bisa menangis, berusaha menghentikan dua orang yang sama-sama ia kasihi. Namun teriakannya tak lagi terdengar di telinga mereka.
Pertarungan membawa mereka semakin jauh ke dalam hutan Randualas. Tubuh naga yang baru saja mereka tumbangkan tergeletak tak berdaya, menjadi saksi bisu perpecahan dua sahabat.
Dari balik kegelapan, muncullah sosok berjubah lusuh dengan mata berkilat licik. Dialah Sidha Kalagana, seorang pertapa yang tersohor karena menguasai ilmu gendam. Ia melihat bangkai naga Sarpaluyung dan Sarpajati terhampar di tanah. Bibirnya melengkung sinis.
"Manusia selalu dikuasai nafsu," gumamnya. "Mereka bisa menaklukkan naga, tetapi tidak pernah menaklukkan hatinya sendiri."
Dengan mantra yang bergema lirih, Sidha Kalagana menggerakkan tangannya. Ajaib---bangkai kedua naga itu perlahan bangkit kembali. Mata mereka kembali menyala, meski tanpa jiwa, sekadar boneka yang dikendalikan oleh kekuatan gendamnya.