Setelah menikah, saya menemukan ketertarikan yang begitu kuat di dapur. Terlebih lagi, suami bukanlah tipe yang mudah makan di luar. Ada rasa syukur yang hadir ketika santapan bisa dinikmati oleh orang-orang yang terkasih.
Bagi saya, memasak bukan sekadar memasukkan bahan sembarangan. Ada tekstur dan warna yang harus berpadu, ada rasa yang lahir dari pertemuan bumbu dan rempah, ada kesatuan yang menghadirkan harmoni. Dari sana, saya merasakan sebuah ruang untuk menikmati olahannya membuat lidah bergoyang, sekaligus membuat hati saya ikut berdendang.
Maryam, Samboza, Kamir, pastel, kroket, dan banyak lagi, kini sudah akrab di tanganku. Di sini bukan sekadar menghitung seberapa banyak garam, tapi seberapa asin yang sebenarnya dibutuhkan. Sama halnya dengan bumbu lain: semuanya tercipta dari uji coba lidah yang jujur, karena lidah tak pernah bisa berpura-pura merasakan kelezatan.
Dalam proses memasak ada kehati-hatian yang tidak bisa dilakukan sembarangan. Ia adalah soal pengenalan: mengenal bahan, mengenal rasa, mengenal harmoni. Saya bersukacita mencium aroma khas widjsman dan rempah-rempah yang mengepul dari dapur mungil saya.
Mengolah makanan membuat saya hadir secara utuh. Raga dan jiwa saya menyatu di sana. Dan dibalik aroma masakan itu, saya justru menemukan satu hal yang paling berharga: keberadaan diriku sendiri
Gambar Dokumen Pribadi Olahan se sendiri
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI