Lihat ke Halaman Asli

Mengkaji Nilai- Nilai Implementasi Trihita Karana dalam Suatu Tata Ruang Wilayah dan Integrasinya ke dalam Kurikulum SMA

Diperbarui: 6 Oktober 2025   14:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendahuluan

Sekolah bukan sekadar tempat belajar, tetapi juga ruang tempat nilai-nilai kehidupan ditanamkan, dipraktikkan, dan dihayati setiap hari. Dalam konteks pendidikan Indonesia yang kaya akan kearifan lokal, konsep Tri Hita Karana (THK) menjadi salah satu landasan filosofis yang sangat relevan untuk membangun pendidikan berkarakter. Konsep yang berasal dari kebudayaan Bali ini mengajarkan keseimbangan hidup melalui tiga hubungan utama: hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan manusia dengan sesama (Pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (Palemahan).

Dalam dunia modern yang cenderung menekankan aspek kognitif dan pencapaian akademik, nilai-nilai spiritual dan ekologis sering kali terpinggirkan. Sekolah yang ideal seharusnya tidak hanya mendidik siswa agar cerdas secara intelektual, tetapi juga peka terhadap moral, sosial, dan lingkungan. Di sinilah Tri Hita Karana dapat menjadi panduan praktis dalam menata ruang dan budaya sekolah yang seimbang --- agar pendidikan tidak kehilangan ruh kemanusiaannya.

Tata ruang sekolah sesungguhnya mencerminkan filosofi pendidikan yang dianut oleh institusi tersebut. Penataan yang baik bukan hanya memengaruhi efektivitas belajar, tetapi juga suasana batin dan nilai-nilai yang tertanam dalam diri warga sekolah. Sekolah yang memiliki tempat ibadah, ruang sosial, area hijau, serta pengelolaan lingkungan yang baik akan lebih mudah menumbuhkan karakter siswa yang religius, empatik, dan berwawasan ekologis. Artikel ini akan membahas bagaimana konsep Tri Hita Karana dapat diimplementasikan dalam tata ruang sekolah secara nyata, sehingga sekolah dapat menjadi miniatur kehidupan yang harmonis antara manusia, Tuhan, dan alam.

Pembahasan

1. Parahyangan: Ruang yang Menyatukan Spiritualitas dan Pembelajaran

Konsep Parahyangan menekankan pentingnya hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam konteks sekolah, hal ini tidak hanya berarti menyediakan tempat ibadah, tetapi juga bagaimana lingkungan sekolah mampu membangun suasana spiritual yang damai, penuh rasa syukur, dan menghargai keberagaman keyakinan.

Sekolah yang berlandaskan Parahyangan biasanya menyediakan fasilitas ibadah bagi berbagai agama --- seperti musala, kapel, ruang doa, atau area meditatif. Namun lebih dari sekadar tempat, nilai Parahyangan hidup melalui rutinitas: doa sebelum belajar, refleksi setelah pelajaran, hingga kegiatan keagamaan lintas iman yang menumbuhkan toleransi dan kesadaran spiritual. Dalam banyak sekolah di Indonesia, kegiatan seperti doa bersama setiap pagi atau peringatan hari besar agama menjadi cara sederhana untuk mengintegrasikan nilai ini ke dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, arsitektur sekolah juga dapat mendukung suasana religius. Misalnya, tata ruang yang terbuka, pencahayaan alami yang cukup, serta taman-taman yang menenangkan memberi ruang bagi siswa untuk merenung dan beristirahat secara spiritual. Sekolah yang menempatkan ruang doa di lokasi strategis --- mudah dijangkau dan tidak tersembunyi --- menunjukkan penghargaan terhadap nilai Parahyangan.

Implementasi Parahyangan dalam pendidikan modern juga dapat dilakukan secara simbolik melalui kegiatan yang menumbuhkan nilai kejujuran, rasa syukur, dan kepedulian. Guru berperan penting sebagai teladan spiritual, bukan hanya pengajar pengetahuan. Dengan begitu, sekolah menjadi tempat lahirnya generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga beriman dan berintegritas.

2. Pawongan: Membangun Harmoni dalam Relasi Sosial di Lingkungan Sekolah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline