Affan Kurniawan, seorang driver ojek online, menjadi korban kecelakaan tragis. Saat tengah mengantarkan pesanan untuk mencari nafkah untuk keluarganya, ia terlindas mobil taktis Barracuda milik Brimob yang melaju di tengah kerumunan. Kematian Affan Kurniawan tidak dapat dipandang sekadar sebagai kecelakaan lalu lintas.
Peristiwa tersebut dengan cepat berkembang menjadi narasi kolektif di tengah masyarakat. Rekaman video yang memperlihatkan detik-detik Affan kehilangan nyawa tersebar luas di media sosial. Insiden ini dianggap sebagai bukti kegagalan negara dalam memberikan perlindungan kepada warganya. Aparat yang semestinya berperan sebagai penjaga ketertiban justru dinilai bertindak sebagai pihak pelanggar.
Permintaan maaf maupun ekspresi empati yang ditunjukkan Kapolri dan pejabat tinggi dinilai sebagai langkah simbolis untuk meredam kemarahan publik. Namun, sikap tersebut akan kehilangan makna jika tidak diikuti dengan tindakan konkret, transparan, dan akuntabel. Di era digital, masyarakat yang semakin kritis tidak lagi puas dengan simbol semata, melainkan menuntut adanya perubahan nyata.
Kematian Affan Kurniawan menyoroti rapuhnya relasi negara dan rakyat. Tragedi ini memperlihatkan bagaimana negara masih kerap menggunakan kekerasan dan intimidasi, alih-alih dialog. Affan yang sehari-hari mencari nafkah tak pernah membayangkan dirinya menjadi simbol perlawanan. Namun, kematiannya memicu pertanyaan publik: sampai kapan rakyat harus menjadi korban?
Peristiwa ini mengingatkan bahwa komunikasi berbasis ketakutan hanya akan melahirkan perlawanan. Negara didesak untuk menghentikan bahasa senjata dan mulai berbicara dengan bahasa kemanusiaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI