Lihat ke Halaman Asli

F. I. Agung Prasetyo

Desainer Grafis dan Ilustrator

Review: Belati Sang Tuan

Diperbarui: 11 September 2021   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

cover e-book Belati Sang Tuan. Screenshot pribadi

Buku ini (maksudnya e-book karena saya mendapatkannya begitu) ditulis oleh seorang Sekar Mayang, seorang editor yang dulunya (eh mungkin hingga saat ini) adalah seorang Kompasianer yang mangkal di Fiksiana Community juga. 

Buku ini adalah satu-satunya album antologi cerpen yang saya baca dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, yang mungkin saja bisa lebih karena sebelumnya saya hanya membaca buku kumpulan puisi yang ditulis Member Kompasiana secara keroyokan dan buku nonfiksi. 

Selain kesibukan, perhatian saya sekarang lebih condong membaca berita dan sesekali puisi ketimbang cerpen apalagi novel disebabkan pekerjaan saya sebagai content writer beberapa waktu lalu.

Ok. Saya berhenti ngomongin saya sendiri. Harusnya kan ngomongin nih buku dan segala perniknya [tepok jidat].

Entah apa yang dipikirkan oleh seorang Sekar Mayang menyusun banyak cerpen dalam bukunya tersebut, namun jika Anda menggenggam (mungkin lebih pas mendapatkan) buku ini, saya menyarankan jika judul-judul dalam buku ini dibaca secara acak, bukannya runut dari depan ke belakang atau sebaliknya. Efeknya mungkin kita akan mendapatkan susunan alur dan kisah yang lebih variatif.

Karena eh karena, ada dua kisah yang tragis mengawali di depan. Lalu saya menduga-duga sambil mengintip menyipitkan mata dan membalik lembar berikutnya, apakah cerpen ketiga juga tragis? 

Untungnya tidak, karena jika kisah ketiga buku ini kembali tragis saya mungkin akan merasa tidak beruntung. Dan dari situlah saya menganjurkan supaya membacanya secara acak.

Hanya jika Anda membaca judul acak lalu ternyata kebetulan bertemu dengan kisah yang punya tragic-ending beruntun itu juga bukan salah saya. Mungkin seorang Moy---panggilannya---berniat agar supaya nganu: untaian kisah-kisahnya lebih natural dan membumi. Karena kehidupan yang kita jalani pun tidak selalu gembira dan penuh tari-tarian ala film India. *sokfilsuf

27 Kisah yang tersusun dalam 156 halaman (saya menghitungnya mulai dari cerpen pertama hingga terakhir karena tak ada halaman i, ii, iii dst) buku ini cukup gado-gado.

Ada mimpi tidur yang menjadi kenyataan bak indigo yang tidak terlalu asing buat saya karena sempat bersinggungan dengan serial pendek yang kisah dan temanya berganti-ganti ala Alfred Hitchcock atau Twilight Zone yang pernah tayang di salah satu TV Swasta Nasional tahun 90an. Selain ibu saya sendiri pernah mengalami hal demikian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline