Lihat ke Halaman Asli

Kelik Novidwyanto

Penulis lepas; Pegiat di Komunitas Disambi Ngopi; Birokrat

Sampah Makanan Bulan Ramadan, Komposting dan Pengelolaan Berkelanjutan

Diperbarui: 7 Maret 2025   14:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembuatan komposting aerob berupa media komposter padat dengan wadah dan biopori. (Sumber: Dok. Pribadi)

"Umar, lihat deh makanan di meja ini. Banyak banget yang nggak habis," keluh Sita sambil memandang sisa hidangan berbuka puasa yang masih tersisa di meja makan.

Umar menghela napas. "Iya, ya. Padahal tadi kita masaknya semangat banget. Sekarang malah kebanyakan. Sayang banget kalau dibuang."

Sita dan Umar menatap meja makan yang masih penuh dengan aneka hidangan. Kolak, ayam goreng, rendang, dan aneka minuman yang masih tersisa. 

Makanan yang awalnya disiapkan dengan penuh semangat justru berakhir menjadi sampah. Lonjakan konsumsi makanan selama ramadan ini diiringi dengan peningkatan drastis sisa makanan yang terbuang.

Food Waste

Sampah makanan (food waste) menjadi salah satu isu lingkungan yang signifikan di Indonesia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa makanan menjadi penyumbang sampah terbesar. Dengan jumlah penduduk sekitar 280 juta jiwa, Indonesia menghasilkan lebih dari 25 juta ton sampah makanan per tahun. Indonesia merupakan negara penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi.

Fenomena ini tidak hanya mencerminkan pola konsumsi yang tidak efisien, tetapi juga memiliki dampak serius terhadap lingkungan. Salah satu konsekuensi utama dari sampah makanan adalah kontribusinya terhadap perubahan iklim.

Menurut Badan Pertanian dan Pangan Dunia (FAO), sampah makanan turut menyumbang emisi gas rumah kaca dengan jejak karbon mencapai 4,4 gigaton setiap tahunnya. Selain itu, gas metana yang dihasilkan dari sampah organik memiliki efek rumah kaca yang 21 kali lebih besar dibandingkan karbon dioksida, sehingga mempercepat pemanasan global.

Perbedaan antara negara maju dan negara berkembang dalam pengelolaan sampah makanan juga menjadi perhatian. Di negara-negara berpendapatan tinggi, sampah makanan lebih banyak terjadi pada tahap pengolahan, distribusi, dan konsumsi. 

Sementara itu, di negara berkembang seperti Indonesia, kehilangan makanan sering terjadi pada tahap produksi dan pascapanen akibat kurangnya infrastruktur penyimpanan dan distribusi yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang diterapkan harus disesuaikan dengan kondisi dan tantangan lokal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline