Lihat ke Halaman Asli

Mesin Tik, Kakek, dan Ken

Diperbarui: 19 Oktober 2016   02:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Anggota KelasPenulis

Baru saja, kakek Ken Dharma meninggal.

Mulanya, Ken berpikir, hal-hal inilah yang selalu mengingatkan dia tentang kakeknya: ritme dan melodi mesin ketik, besi beradu bantalan keras, irama jari, serta parade perkusi jari menekan tombol mesin tik.

Pada mulanya, Ken berpikir ini tentang mesin tik.

Saking mengendapnya memori itu, ia masih sering melihat sang kakek seperti sedang duduk di mejanya. Meja di pojok ruang keluarga, menghadap dinding warna hijau daun kelapa. Tentu saja dengan mesin tik yang selalu berbunyi.

Jari kakeknya seolah-olah bernyanyi, mengirim melodi ke teman, kolega, juga keluarga. Nyanyi tentang persahabatan, cinta, kesetiaan, hingga kebajikan.

Sampai kini, Ken seolah-olah masih bisa mendengar jari sang kakek sedang berhenti sebentar. Kepalanya sambil mendongak, mata si kakek melihat ke mana, entah. Ke awang-awang, entah.

Barangkali mencari kata, cerita, atau memori. Barangkali. Ken tak pernah bertanya.

Begitu menemukannya, jari si kakek mulai menari lagi.

Berhenti sebentar.

Menari lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline