Penulis: Maxwell Jeremiah Ferdianto
Bayangkan kita hidup di dalam sebuah gua. Tubuh, kaki, dan leher kita diikat sedemikian rupa sehingga mata kita hanya dapat tertuju pada satu sisi dinding batu saja. Sejak lahir, mata kita hanya dapat tertuju pada dinding batu tersebut, dimana kita selalu melihat adanya bayangan-bayangan bergerak--pantulan cahaya dari api dan cahaya matahari yang berada di belakang kita. Bayangan-bayangan samar itulah satu-satunya "realitas" yang kita kenal. Kita membentuk opini, keyakinan, ideologi, bahkan permusuhan berdasarkan bentuk-bentuk semu itu, tanpa seorangpun dari kita yang sungguh mengetahui benda sesungguhnya yang menghasilkan bayangan-bayangan tersebut. Ketika seseorang dari antara kita akhirnya berhasil melepaskan diri, menengok ke belakang, dan keluar, ia akhirnya dapat melihat cahaya matahari dan realitas di luar gua. Ia lalu kembali kepada kaumnya membawa kabar bahwa dunia nyata ternyata lebih kompleks dan luas dibandingkan bayangan-bayangan yang selama ini mereka lihat. Lalu apa yang terjadi? Ia ditertawakan, bahkan dianggap berbahaya. Semua orang pun kembali menjalankan hidup dengan realitas terkunci mereka.
Kisah tersebut, yang dikenal sebagai Plato's allegory of cave, merupakan cara Plato menggambarkan seberapa mudah dan nyamannya manusia terjebak oleh realitas yang semu. Bayangan-bayangan yang mereka lihat di dinding gua adalah perumpamaan dari informasi yang menyesatkan. Sekilas, bayangan dua dimensi tersebut tampak jelas dan memberikan ilusi bahwa kita sudah melihat objek tersebut seutuhnya. Padahal, bayangan tersebut hanyalah pantulan dari sebuah objek tiga dimensi yang kompleks, tersembunyi, serta terdiri dari banyak sisi dan sudut yang tidak tergambarkan dalam bayangannya. Hal ini menunjukkan Manusia begitu mudah menerima informasi yang belum jelas sebagai fakta, terlebih lagi jika didukung dengan suara-suara persetujuan oleh pihak-pihak yang sebenarnya sama butanya.
Dalam dunia modern, prinsip "gua" tersebut masih ada di tengah masyarakat dengan wujud yang baru, yaitu media sosial. Media sosial menyajikan bayangan-bayangan informasi yang telah diamplifikasi oleh algoritma, dikunci oleh preferensi pribadi, dipertebal oleh bias kelompok, dan sayangnya dipercaya terlalu cepat oleh sebagian masyarakat. Realitas semu pun terkonstruksi bukan oleh kebenaran, melainkan oleh persepsi yang terbentuk dari balik layar.
I. "Kami" dan "mereka"
Polarisasi opini terjadi ketika masyarakat terbelah dalam dua atau lebih kutub pandangan yang tidak hanya berbeda, tetapi juga saling menolak satu sama lain, tanpa ruang untuk kompromi.[1] Perlu ditekankan bahwa perbedaan opini politik sejatinya merupakan hal yang normal dan bahkan esensial dan perlu didorong bagi kehidupan demokrasi sebagai tanda berjalannya kebebasan berpendapat. Meski begitu, pada fenomena polarisasi opini, perbedaan opini yang terjadi sudah mencapai titik perpecahan ke dalam kubu-kubu ekstrem, terbentuk kaum "kami" dan "mereka". Debat berubah menjadi serangan, opini berbeda dianggap sebagai ancaman, dan diskusi berubah menjadi pertempuran identitas.
Contoh konkret terdekat dari polarisasi opini politik dapat ditemukan dalam dinamika pasca-pemilihan presiden tahun 2024. Pada awalnya, masyarakat terbelah dalam mendukung pasangan calon masing-masing dengan narasi yang sangat emosional dan penuh sindiran di media sosial. Hal serupa terjadi pula pada pemilihan presiden tahun 2019 dengan perpecahan "cebong-kampret". Menanggapi fenomena tersebut, beberapa ahli memprediksi bahwa perpecahan tersebut dapat berlanjut hingga selesainya proses pemilihan presiden.[1] Benar saja, setelah pasangan Prabowo-Gibran terpilih dan aktif menjabat, muncul gelombang kekecewaan dari sebagian masyarakat yang merasa pilihan mereka tidak menang dan tidak puas dengan kinerja pemimpin terpilih kemudian secara terbuka menyalahkan rakyat yang memilih paslon 02. Polarisasi pun bergeser dari sekadar perbedaan pilihan menjadi penilaian moral terhadap pilihan politik orang lain. Polarisasi tidak hanya melemahkan keharmonisan sosial, tetapi juga memperburuk kualitas demokrasi.
II. Bagaimana gua ini terbentuk?
Polarisasi opini politik terbentuk akibat dua variabel utama, yaitu cara kerja dari media sosial dan cara kerja dari pikiran manusia. Dari sisi media sosial, algoritma media sosial bekerja dengan menyajikan konten berdasarkan preferensi pengguna, bukan keragaman informasi. Algoritma media sosial mengenali jejak digital dan kecenderungan penggunanya serta menggunakannya untuk menentukan konten apa yang akan disajikan selanjutnya kepada sang pengguna. Cara kerja inilah yang disebut sebagai filter bubble. Secara sederhana, filter bubble adalah sebuah mekanisme pada media sosial yang menyebabkan perilaku daring kita hari ini akan memengaruhi apa yang akan ditunjukkan media sosial kepada kita di hari esok.[2]
Akibat dari filter bubble tersebut, kita akan cenderung bertemu dengan konten-konten yang sesuai dengan preferensi dan opini politik kita serta dipertemukan dengan pengguna-pengguna yang memiliki opini serupa dengan kita. Hal tersebut akan memicu terjadinya echo chamber, sebuah fenomena dimana opini yang sama akan dipantulkan berulang-ulang oleh banyak pihak, seolah menjadi kebenaran mutlak.[3] Orang-orang yang pada dasarnya sudah "berada di pihak yang sama" akan sangat mudah untuk saling menerima informasi, menginternalisasikannya sebagai fakta, kemudian menyebarkannya kepada orang lain dan terus demikian hingga informasi tersebut dianggap sebagai kebenaran mutlak oleh semakin banyak orang. Lama-kelamaan, kemampuan untuk memformulasikan opini secara pribadi akan menurun. Opini dan kepercayaan pribadi yang awalnya merupakan hasil pemikiran pribadi setiap orang lama-lama tergantikan oleh opini "kubu" mereka, karena adanya rasa aman, nyaman, dan mudah. Mekanisme seperti likes, share, dan komentar positif dalam media sosial juga turut memperkuat kemudahan beredarnya pendapat ekstrem karena sifatnya yang menarik perhatian. Dengan mekanisme tersebut, berita-berita palsu dan sensasional akan sangat mudah untuk menyebar dan memengaruhi pandangan politik masyarakat.
Jika dilihat dari sisi cara kerja pikiran manusia, beberapa teori psikologi dapat menjelaskan mengapa kita mudah terjebak dalam polarisasi. Teori seperti confirmation bias menyebabkan kita cenderung lebih mudah menerima informasi yang sejalan dengan keyakinan kita sebelumnya.[4] Teori identitas sosial menunjukkan bahwa kita merasa aman berada dalam kelompok yang sependapat dengan kita dan cenderung melihat kelompok lain sebagai ancaman.[5] Dengan kecenderungan perilaku yang dijelaskan oleh dua teori tersebut, tidaklah mengejutkan apabila masyarakat sangat mudah untuk jatuh terjebak dalam filter bubble dan membentuk pagar-pagar antara "kami" dan "mereka". Ditambah lagi dengan teori spiral of silence yang menjelaskan bahwa individu yang menjadi minoritas cenderung enggan untuk menyuarakan pendapatnya, menyebabkan echo chamber semakin efektif, dengan pendapat mayoritas makin dominan dan pendapat minoritas makin tersisih.[5]