Lihat ke Halaman Asli

Merawat Sejarah di Teluk Bima

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERBUKITAN itu bukan sekadar satuan geomorfologi bergelombang dengan kemiringan lerang yang cukup curam. Bukan semata tempat bebatuan tua miosen sampai holosen bertemu dan saling menindih. Di bawahnya, pantai berpasir putih yang lembut dengan barisan nyiur yang tertata, tidak pula sebatas panorama yang memikat mata. Lebih dari itu, dari sanalah sejarah Bima mula-mula menyusun dirinya.

Di salah satu lereng Doro Lemba, barat laut Teluk Bima, terdapat situs Wadu Pa’a. Situs ini sangat unik karena termasuk situs candi tebing, terdiri dari relief-relief Siwa, Mahakala, Mahesamurti, Ganesha, bahkan Buddha, serta berbagai stupa dan lingga. Umurnya belum diketahui pasti, namun diperkirakan berasal dari abad 6-14 Masehi; suatu masa ketika agama Siwa dan Buddha menyublim dalam satu ruang peribadatan.

Wadu Pa’a mungkin dibuat oleh pelaut-pelaut asing. Lokasi ini memang cocok sebagai tempat singgah karena terlindung dari angin kencang dan ombak pasang. Di komplek Wadu Pa’a juga terdapat mata air tawar yang menjadi alasan lain bagi para pelaut untuk datang.

“Orang-orang Hindu, biasanya dari Bali, masih datang ke sini. Mereka sembahyang di sini,” kata Muhammad Hasan, juru kunci Komplek Wadu Pa’a. “Orang Islam juga kalau habis lebaran, liburannya ke sini. Ramai sekali.”

Muhammad Hasan adalah warga Desa Kananta, Kecamatan Soromandi, yang menjadi tenaga honorer pada Dinas Pariwisata Kabupaten Bima. Tugasnya menjaga komplek Wadu Pa’a. Setiap hari ia menyapu dedaunan kering dan debu yang menempel pada relief. Tidak ada perlakuan khusus atau penggunaan teknologi modern untuk perawatan cagar budaya tersebut.

Bagaimana dengan kunjungan turis asing? “Ya, ada juga. Mereka pakai kapal, itu apa sih, paket pesiar dari Bali, kemudian singgah di sini, terus ke Pulau Komodo,” tutur Abdul Haris, Kepala Desa Kananta.

Jika sekarang kapal asing sangat jarang datang, beberapa abad lalu justru sebaliknya. Berbagai referensi sejarah—kronik Jawa kuno Nagarakrtagama, Pararaton, dan catatan Tome Pires—disebutkan bahwa sejak abad 10 atau 14, Bima adalah sebuah kota pelabuhan yang cukup ramai. Bima juga menjadi tempat niaga yang menghubungkan Malaka, Cina, Jawa, dan Maluku. Komoditinya berupa asam, kemiri, bawang, kacang, kopi, padi, kapas, teripang, garam, kain tenun, dan sebagainya.

“Ini yang mau kita hidupkan kembali. Kami sedang merancang Teluk Bima untuk wisata bahari dan wisata sejarah,” kata Abdul Hafid, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia-NTB.

Jika proyek ini terealisasi, nantinya Teluk Bima dengan garis pantai membentang lebih dari 200 Km akan dipenuhi perahu-perahu layar kuno asli Nusantara. Wisatawan akan disuguhkan pemandangan teluk dari atas perahu. Mereka juga akan diantar mengunjungi dermaga-dermaga kuno dari abad belasan seperti Pelabuhan Bima, dermaga Lawata, dan dermaga Kalaki.

Sembari itu para turis bisa menikmati manisnya oi ta’a, atau saat angin dingin mina sarua, dan berbagai penganan khas. Yang hobi memancing bisa mendapat pengalaman unik mencoba menangkap ikan dengan alat tradisional bubu atau ladung. Atau, bagi yang suka tantangan, menginap saja bersama nelayan bagan di atas perahu yang bangunannya mirip rumah di tengah laut. Sesuatu yang tak mereka jumpai di tempat asalnya.

Tak hanya dari tengah laut, kawasan pesisir juga tak kalah menarik. Di sana bertebaran situs-situs kuno seperti Makam raja-raja di Doro Raja dan Tolobali, Wadu Tunti yang lebih muda dari situs Wadu Pa’a, komplek istana Asi, masjid tertua di Melayu, Benteng Asakota, dan sebagainya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline