Lihat ke Halaman Asli

Karnita

TERVERIFIKASI

Guru

Senyum, Jasa, dan Dosa yang Tak Pernah Usai dalam Senyum Karyamin (1)

Diperbarui: 9 Oktober 2025   10:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senyum, Jasa, dan Dosa yang Tak Pernah Usai (Foto Shopee)

Senyum, Jasa, dan Dosa yang Tak Pernah Usai dalam Senyum Karyamin (1) 

“Yang kecil menanggung beban, yang berkuasa menimbang-nimbang kebaikan.” — Ahmad Tohari (disarikan)

Oleh Karnita 

Pendahuluan

Apa jadinya jika senyum berubah menjadi bentuk perlawanan terakhir manusia miskin? Bagaimana bila belas kasihan dikalkulasi seperti proyek, dan aib sosial dijadikan tontonan moral? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang bergaung dalam tiga cerpen pilihan Ahmad Tohari dari kumpulan Senyum Karyamin: “Senyum Karyamin,” “Jasa-jasa Buat Sanwirya,” dan “Si Minem Beranak Bayi.” Tiga kisah sederhana dari desa ini tak sekadar menghadirkan realitas sosial, tapi juga menelanjangi sisi batin manusia yang rapuh, getir, dan terkadang lucu dalam kepasrahannya.

Kumpulan cerpen Senyum Karyamin pertama kali diterbitkan oleh Pustaka Firdaus pada 1989 dan kemudian dicetak ulang oleh Gramedia. Buku ini menjadi representasi paling khas dari gaya Tohari: realisme pedesaan yang sarat moral, dengan bahasa yang liris namun bersahaja. Dalam setiap cerpen, Tohari memotret kemiskinan dan kesalehan rakyat kecil bukan sebagai objek iba, melainkan sebagai sumber kebijaksanaan yang jujur dan manusiawi.

Penulis memilih tiga cerpen ini bukan tanpa alasan. Ketiganya menggambarkan tiga bentuk luka sosial yang masih relevan hingga kini—kemiskinan struktural, kemunafikan sosial, dan stigma moral terhadap perempuan. Di tengah derasnya arus modernitas, karya-karya Tohari justru mengingatkan bahwa kemanusiaan tak selalu diukur dari seberapa “benar” kita menilai orang lain, melainkan seberapa tulus kita mampu memahami penderitaan mereka.

1. Senyum Karyamin: Tawa di Tengah Lapar

Kisah ini menyoroti seorang buruh pengangkut batu yang tetap tersenyum meski tubuhnya lemah dan hidupnya miskin. Karyamin menjadi simbol ketabahan dan martabat manusia yang tak mudah padam, bahkan ketika penderitaan menjadi makanan sehari-hari. Di akhir cerita, senyum yang ia pertahankan menjadi simbol tragis—ketika tawa berubah menjadi perlawanan sunyi terhadap nasib yang tak adil.

Dalam konteks sekarang, “Senyum Karyamin” tetap relevan. Banyak pekerja kecil yang bertahan hidup di tengah ketimpangan sosial tanpa ruang untuk bersuara. Mereka dipuji karena sabar, tapi jarang benar-benar dibela. Cerita ini mengingatkan kita untuk meninjau ulang bagaimana sistem sering memaksa orang miskin tersenyum hanya demi kenyamanan sosial kelas di atasnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline