Antara Praktis dan Problematis: Menimbang Ijazah Digital di Sekolah Kita
"Inovasi selalu mengundang harapan. Tapi setiap harapan akan diuji oleh kesiapan."
Oleh Karnita
Pendahuluan: Ketika Ijazah Tak Lagi Sekadar Bukti Belajar
Polemik soal keaslian ijazah Bapak Joko Widodo, menyeruak sejak 2019 dan memuncak pada 2022 saat Bambang Tri Mulyono menggugat keabsahannya ke pengadilan. Meski gugatan dicabut dan UGM menyatakan ijazah Jokowi sah, sebagian publik tetap curiga. Pada 2025, Jokowi melaporkan lima orang yang menyebarkan tudingan ini---dua di antaranya, Bambang Tri dan Gus Nur, divonis enam tahun penjara karena menyebar hoaks dan ujaran kebencian.
Kasus serupa tak hanya terjadi pada Pak Jokowi. Tokoh nasional lainnya juga sempat dilaporkan dalam dugaan penggunaan ijazah palsu saat mencalonkan diri pada 2009, meski kasusnya tak berlanjut. Rentetan kasus ini menegaskan bahwa ijazah bukan sekadar dokumen administratif, tapi juga bisa menjadi senjata politik. Maka, muncul pertanyaan mendesak: bagaimana sistem kita memastikan ijazah benar-benar sah dan terverifikasi?
Sekarang, di tengah gemuruh isu ini, pemerintah mengusung gagasan mengganti ijazah fisik dengan versi digital elektronik. Tujuannya jelas: untuk mempermudah verifikasi dan mencegah pemalsuan. Namun, dalam setiap langkah teknologi baru, ada juga tantangan yang tak kalah besar. Infrastruktur yang belum merata, masalah privasi, dan ketergantungan pada teknologi yang bisa jadi memperburuk ketimpangan. Apakah ijazah digital benar-benar akan menjawab keresahan lama kita? Atau justru akan membuka babak baru dari masalah yang lebih kompleks? Sebuah pertanyaan besar yang menunggu jawabannya di tengah perjalanan menuju digitalisasi yang semakin tak terelakkan.
1. Efisiensi Administratif: Antrean Panjang yang Akhirnya Usai
Salah satu argumen terkuat dari pendukung ijazah digital adalah efisiensi. Selama ini, proses pencetakan ijazah melalui dinas pendidikan sering kali memakan waktu lama, disertai antrean distribusi yang berjenjang dan penuh birokrasi. Dengan sistem baru, proses ini menjadi lebih ramping dan cepat. Tak ada lagi ketergantungan pada jadwal pencetakan massal yang bisa molor. Waktu tunggu yang dulunya berbulan-bulan kini bisa ditekan menjadi hitungan hari.
Sekolah kini cukup mengakses laman Sistem Informasi Pengelolaan Data Pendidikan (SIPDP) dan mencetak secara mandiri. Tak perlu lagi menunggu logistik dari pusat atau khawatir dokumen hilang di perjalanan. Kepala sekolah memiliki kendali penuh atas validasi dan pencetakan ijazah. Sistem ini juga memungkinkan pemantauan real-time oleh dinas pendidikan. Transparansi meningkat, akuntabilitas ikut terdongkrak.
Bagi guru dan operator sekolah, ini bisa memangkas pekerjaan administratif yang menyita waktu. Mereka bisa lebih fokus pada substansi pendidikan, bukan lagi terjebak urusan surat-menyurat yang memusingkan. Dengan otomatisasi, risiko kesalahan input juga berkurang. Efisiensi ini berpotensi memperbaiki ekosistem administrasi pendidikan secara menyeluruh.