Lihat ke Halaman Asli

teteh chatay pasific...

Travailler comme secrétaire chez Cathay Pacific.

Tanam paksa ...

Diperbarui: 4 Oktober 2025   13:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler


Catatan Harian tentang Cultuurstelsel


Tanggal: (Bisa diasumsikan periode 1830 - 1870)
Hari ini, pikiran saya dipenuhi oleh sistem yang disebut Cultuurstelsel---atau yang lebih dikenal penduduk lokal sebagai Sistem Tanam Paksa. Sungguh ironis nama-nama ini, sistem ini seolah 'membudidayakan' hasil bumi, tapi 'memaksa' rakyatnya hingga ke titik penderitaan.
Ini adalah kebijakan yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 di Hindia Belanda (Indonesia). Tujuannya jelas: untuk mengisi kembali kas pemerintah Belanda yang kosong setelah Perang Jawa dan masalah lainnya.
Aturan dan Kenyataan Pahitnya
Secara resmi, aturannya berbunyi:
 * Setiap desa hanya perlu menyisihkan 20% dari tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor (seperti teh, kopi, dan kakao).
 * Tanah yang dipakai untuk ini dibebaskan dari pajak.
 * Penduduk yang tak punya tanah bisa bekerja 66 hari (atau 75 hari) di perkebunan pemerintah sebagai pengganti pajak.
 * Gagal panen (bukan salah petani) akan ditanggung pemerintah.
Namun, yang terjadi di lapangan jauh lebih kejam. Seluruh wilayah pertanian hampir wajib ditanami komoditas ekspor, dan bahkan wilayah yang sudah digunakan untuk Tanam Paksa tetap dikenakan pajak. Praktiknya, penduduk harus bekerja sepanjang tahun tanpa upah layak---ini yang kita sebut "kerja rodi".
Sistem ini jauh lebih eksploitatif daripada VOC. Petani tidak hanya wajib menjual, tetapi diwajibkan menanam jenis tanaman tertentu dan menjualnya dengan harga yang sudah ditetapkan sepihak.
Dampak yang Kontras
Bagi Belanda, sistem ini adalah berkah. Van den Bosch bahkan diberi gelar Graaf (Bangsawan) karena Cultuurstelsel berhasil membuat Belanda makmur. Hasil panen ini menjadi modal besar bagi zaman keemasan kolonialisme liberal berikutnya.
Namun, bagi rakyat pribumi, dampaknya adalah penderitaan luar biasa dan kelaparan hebat, terutama menjelang akhir 1840-an di daerah seperti Grobogan dan Demak. Saya sempat membaca catatan miris dari seorang inspektur di Priangan, L. Vitalis, yang menceritakan mayat petani bergelimpangan karena keletihan dan kelaparan.
Akhir dan Kritik
Untungnya, sistem ini memicu gelombang kritik di Belanda sendiri, baik dari kaum Humanis maupun Liberal:
 * Multatuli (Eduard Douwes Dekker) menyerang dengan buku sastranya, "Max Havelaar" (1860), yang menggambarkan penindasan terhadap petani di Lebak, Banten.
 * Kaum Liberal berjuang untuk kebebasan ekonomi swasta.
Akhirnya, berkat desakan ini, Cultuurstelsel dihentikan secara bertahap dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870. Ini menandai dimulainya Era Liberalisasi Ekonomi di Hindia Belanda, di mana modal swasta Eropa mulai masuk dan menyewa lahan secara besar-besaran, walau ini tidak sepenuhnya mengakhiri penderitaan rakyat.
Masa Cultuurstelsel akan selalu dikenang sebagai periode kelam yang menunjukkan betapa kejamnya eksploitasi kolonial demi kepentingan ekonomi negara penjajah.

- Idy chan -

2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline