Lihat ke Halaman Asli

Badruz Zaman

Penghobi olah huruf A s.d. Z

Taushiyah HAM: Hak Mengisi Ruang Publik, Jalan Aspal dan Media Sosial

Diperbarui: 13 Januari 2022   07:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Demokrasi menjamin hak-hak asasi manusia dapat diekspersikan dengan batasan peraturan yang ada. Hak asasi manusia eksistensinya dijamin oleh perundangan. Namun, hak asasi manusia kadang diartikan 'miring' sebagai kebebasan melakukan sesuatu sesuai kehendaknya tanpa menjaga 'rasa orang lain'. 

Batasan kebebasan hak asasi setiap orang adalah tidak melanggar hak asasi manusia yang lainnya, kata pakar sih begitu. Masing-masing punya hak asasi. Hak asasi masing-masing tidak boleh dilanggar atas nama hak asasi orang. Ini yang sulit. Disinilah perlunya saling menghormati, saling menghargai dan saling mendengarkan, tidak boleh menghina apalagi memfitnah.

Adat ketimuran salah satunya adalah yang muda menghormati yang lebih tua, yang tua menyayangi yang lebih muda. Kalau seumuran ya tinggal saling menghormati dan saling menghargai. Begitulah, karena sesama manusia hakekatnya bersaudara. 

Kalau diurut garis keturunannya sampai ke Nabi Adam dan Hawa. Artinya, sesama manusia ciptaan Tuhan, sesama penduduk bumi, sesama warga negara Indonesia. Menyakiti yang lain, sama juga menyakiti diri sendiri. 

Tentu beda sikap mahluk sosial (solidaritas) dengan mahluk individual (soliter) merasa mampu hidup sendiri tanpa bantuan (peran) orang lain. Layaknya cerita 'iblis' yang tak mau diberi nasehat karena merasa lebih tinggi dan mulia.

Perkembangan teknologi informasi banyak membuat lengah. Dimana dunia nyata dianggap berbeda dengan dunia internet. Padahal sederat larangan dan sanksi penggunaan internet sama saja dengan larangan dan sanksi didunia nyata. 

Mulai dari KUHP dan sebagainya. Jika di dunia nyata orang tidak boleh melakukan fitnah, di dunia internet juga tidak boleh melakukan fitnah. Ghibah sesuatu yang nyata saja dilarang, apalagi 'menggiring' opini gorengan agar tercipta 'prasangka' buruk pada seseorang. 

Akibtanya orang itu mati karakternya karena dibunuh dengan 'gorengan' opini rendahan. Pembuat opini 'gorengan' menjadi seolah benar dan mendapat dukungan banyak orang. maklum, dia butuh eksistensi dan hiburan sanjungan dan pendapatan ekonomi yang mudah, mulus dan banyak dengan mematikan peluang orang.

Alih-alih mampu menyimpan aib orang, malah menciptakan prasangka buruk seseorang yang menjurus pada fitnah. Tak peduli norma agama, norma hukum negara dan norma adat istiadat 'kepatutan' pada umumnya manusia yang beradab. Tak semua yang terpelajar itu terdidik dengan baik. Tetapi banyak yang tidak terpelajar memiliki 'akhlak' yang mulia karena terdidik dengan baik. 

Orang tua yang bersahaja dan guru desa yang rendah hati, lingkungan yang bersaudara membangun karakter seseorang menjadi 'baik' dan peduli serta disukai banyak orang dengan natural, alamiyah, takdiriyah bukan disukai karena 'kamuflase' kepentingan terselubung yang tak nampak dalam hatinya. 

Kalau sedang satu kepentingan mereka kumpul bersama, kalau sudah beda kepentingan mereka bubar mikir hidupnya sendiri-sendiri. Soliter yang dipaksakan dengan sikap solidaritas. Tetapi karakter solidaritas dimapaun tempatnya tak akan menjadi soliter.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline