Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Khoirul Wafa

Santri, Penulis lepas

Perlukah Mengomersialkan Hidup di Media Sosial?

Diperbarui: 30 September 2020   00:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi memamerkan kebahagiaan di media sosial. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Saat kita berjalan, kita akan menyadari beberapa hal baru. Banyak sekali sesuatu tak terduga yang muncul dalam pengalaman hidup. Yang tak terpikirkan, atau bahkan yang tak terbayangkan. Tapi kadang ada masanya semua harus berhenti.

Walaupun apa yang kita lakukan pada awalnya sederhana, tapi lama kelamaan emosi yang menuntut ambisi tinggi akan sebuah pencapaian telah menghilangkan bayangan akan tujuan awal. Kita sudah terlena.

Yang sebenarnya hanya ungkapan keluh kesah karena kesepian, yang pada awalnya sekedar tentang cerita-cerita yang terlupakan, yang sejatinya cuma kata hati yang ingin didengar melalui lisan. Waktu menggiring semua itu pergi, menuju keinginan yang lebih dalam. Hari demi hari.

Kondisi yang tak memungkinkan membuat mood menulis hilang sama sekali. Banyak waktu yang sebenarnya terlewatkan begitu saja. Mungkin tidak lagi setiap hari bisa berbagi cerita. Satu minggu sekali saja, atau dua kali.

Jika kita tak memiliki tenggat waktu sama sekali, mungkin kita akan berhenti membaca. Sebab tak ada rasa tanggung jawab untuk berbagi. Rasa malas hanya bisa dikalahkan sesekali dengan deadline.

Tapi sepertinya lebih ingin menikmati membaca dan menemukan hal baru, lebih banyak melihat daripada bercerita. Bukan lagi masalah seberapa banyak, tapi seberapa berkesan dan berarti. Kuantitas tak pernah menjamin kualitas.

Dulu menulis jadi tak menyenangkan sebab telah mengganggu aktivitas membaca. Muncul pikiran bahwa setiap yang dibaca bisakah diolah menjadi tulisan? Akhirnya setiap kali membaca beberapa halaman jadi harus berhenti sebab menemukan hal menarik. Walaupun yang ditulis jadi tak otentik, karena hanya mengulang kalimat yang telah tertera dengan kata-kata yang didaur ulang kembali.

Saat baru membolak-balik beberapa halaman, semua jadi harus tertahan karena ingin menyusun draft. Konsep sederhana sebaris dua baris kata yang mungkin bisa diselesaikan suatu hari nanti. 

Itulah alasan kenapa orang bisa menulis setiap hari. Bahkan dua kali sehari atau tiga kali. Pagi, siang, dan sore. Asalkan dia rajin membaca, dan kepalanya menjelma mesin daur ulang, yang senantiasa terprogram dengan perintah "kira-kira paragraf ini bisa ditulis jadi apa?"

***

Tidak ada istilah "menghilang" hanya karena tak ingin diganggu. Sebab orang tidak selamanya memegang ponsel pintar lima menit sekali. Atau karena memakai modus diam dan handphone tergeletak tak dicek seharian. Atau ketika kita mematikannya saat malam. Siapa yang butuh siapa?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline