"Cekrek!" kamera ponsel berbunyi di antara tumpukan baju bekas di Pasar Senthir, Yogyakarta.
Seorang mahasiswa tersenyum puas setelah menemukan jaket vintage bermerek yang masih kinclong meski sudah berpindah tangan entah keberapa kali. Di tangannya, selembar kain lusuh kembali punya makna baru dan di situlah cerita thrifting dimulai.
Di tengah derasnya arus fast fashion, thrifting menetap sebagai oasis kecil yang menenangkan. Di pasar loak, akun live TikTok, hingga laman Instagram, baju-baju bekas yang dulu dianggap lusuh kini kembali naik panggung. Dari kemeja lawas sampai cardigan lucu menjadi incaran generasi muda yang mencari gaya, nilai, sekaligus makna.
Berdasarkan Liputan6 (2024), Thrifting sendiri mulai berkembang di Bandung pada era 1990–2000-an, sebelum akhirnya menjalar ke berbagai kota besar di Indonesia. Sekarang, survei Goodstats (2022) menunjukkan bahwa 49,4% masyarakat Indonesia pernah mencoba thrifting. Angka ini menandakan bahwa praktik yang dulu dipandang "alternatif" kini telah menjadi bagian dari arus gaya hidup. Namun, sebenarnya thrifting lebih dari sekadar praktik sederhana, ia adalah cerminan dari hubungan ekonomi dan sosial yang mengikat satu sama lain.
Sosiolog Mark Granovetter (1985) menyebut fenomena semacam ini sebagai embeddedness, yang berarti kegiatan ekonomi tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu melekat dalam jaringan dan norma sosial yang ada. Thrifting bukan hanya soal harga murah, tetapi tentang cara orang membangun makna, solidaritas, dan bahkan identitas melalui konsumsi. Sebenarnya, apa yang membuat praktik ini terasa begitu hidup, seolah tiap potongan kain menyimpan kisah?
Tawaran Bagus, Harga Minus
Salah satu alasan terkuat mengapa thrifting terus langgeng tentu saja karena harganya yang murah. Dalam prinsip ekonomi, manusia selalu berpikir rasional, yakni mengambil keputusan dengan membandingkan biaya dan manfaat dari pilihan yang ada. Manusia yang rasional pasti akan memilih pilihan dengan manfaat terbesar dan biaya terkecil. Maka, thrifting yang menawarkan pakaian berkualitas dengan harga miring sangatlah mencerminkan prinsip tersebut.
Namun, jika dipikir, mengapa tidak membeli baru saja? Jawabannya adalah karena ada manfaat yang hanya dapat diperoleh dari thrifting. Bagi banyak generasi muda, thrifting adalah cara untuk tetap bisa tampil stylish tanpa harus takut dompet kering. Artinya, thrifting membuka kesempatan yang lebih luas bagi kita untuk dapat mengeksplorasi gaya pribadi dan menyalurkan kreativitas tanpa khawatir. Dengan opsi yang banyak dan unik, thrifting menjadikan setiap pilihan sebagai ruang untuk mengekspresikan identitas secara lebih personal dan berbeda dari orang lain.
Tak hanya itu, saat memilih pakaian, kita tentu terhubung dengan tren, norma komunitas, dan inspirasi dari teman sebaya maupun media sosial. Misalnya, tren upcycling atau mendaur ulang pakaian yang sedang ramai juga meningkatkan minat thrifting generasi muda. Aktivitas ini memungkinkan kita untuk berbagi ide, mendapatkan pengakuan, dan merasakan keterikatan dengan orang-orang yang memiliki minat serupa. Jadi, selain menjadi sarana mengekspresikan identitas, thrifting juga membangun jaringan sosial dan partisipasi dalam komunitas.
Kesadaran Sosial yang Menghidupkan Thrifting