Hari ini Sabtu 20 September 2025 sebagai Mahasiswa Program Strata Tiga saya mengikuti perkuliahan pada pertemuan ke dua yang dibawakan oleh seorang Profesor. Cara beliau mengajar memang unik, sesesekali ngelantur, sesekali juga idealis dan menggugat kebijakan yang dianggap timpang, intinya penuh cerita dan sarat pengalaman hidup yang mungkin sekilas tampak jauh dari pokok bahasan. Seperti perkuliahan sebelumnya, waktu dalam kelas menjadi agak sedikit panjang. Tidak heran jika beberapa kawan di grup Whatsap Kelas bercanda, dengan memberikan komentar "tolong siapkan rem" mengingat pengalaman minggu sebelumnya. Saya pun ikut menanggapi dengan ringan, meski tetap berusaha menyimak dengan serius. Bahkan satu kawan dengan komen serius mengatakan akan menyampaikan kepada fihak Prodi, atas kondisi ini saya juga menanggapi dengan kata terakhir "sabar".
Dari pengalaman itu saya memahahami setiap dosen memiliki gaya, karakter, dan cara mengajar yang berbeda. Namun, apa yang disampaikan selalu memiliki makna, baik dari segi keilmuan maupun pengalaman nyata. Di situlah kita, sebagai mahasiswa, dituntut untuk mengasah ketajaman pikiran agar mampu menangkap nilai yang tersembunyi di balik cerita, serta memiliki kebesaran hati untuk menerima perbedaan cara pandang tanpa tergesa menilai. Pada saat yang sama, kita juga dilatih untuk menumbuhkan kesabaran sebagai bagian dari proses belajar yang sejati.
Sebagaiman prinsip dasar dalam kacamata spritual, bahwa mahasiswa terdiri dari kata "maha" yang berarti besar dan luas, dan "siswa" yang berarti murid. Maka murid yang besar adalah ia yang memiliki pemahaman luas, kebesaran hati, memiliki kemampuan menyimak, memahami, dan mengambil pelajaran, bahkan dari hal-hal yang tampak sederhana. Sebab ilmu tidak selalu hadir dalam bentuk teori yang sistematis, kadang ia menyelinap dalam kisah hidup, pengalaman pribadi, bahkan dalam ungkapan yang tak terduga.
Renungan ini semakin dalam ketika saya menyadari bertepatan saat ini adalah hari suci Tumpek Landep, yang dikenal umum sebagai otonan kendaraan, yang dalam filsafat sesungguhnya bahwa Tumpek Landep hakikatnya adalah memohon anugerah ketajaman pikiran dari Bhatara Siwa dalam manifetasinya sebagai Hyang Pasupati, bukan hanya pada senjata atau benda logam yang disucikan, melainkan juga pada pikiran dan batin manusia. Ketajaman pikiran tanpa kebesaran hati akan melahirkan kesombongan, sementara ketajaman pikiran tanpa kesabaran hanya akan menimbulkan kegelisahan. Tetapi ketika ketiganya menyatu pikiran yang tajam, hati yang besar, dan jiwa yang sabar, maka kita akan menemukan kebijaksanaan.
Belajar dari dosen, dari kelas, dari momen kebersamaan, bahkan dari situasi yang tampak melelahkan, sejatinya adalah bagian dari perjalanan kita melatih diri. Perjalanan menjadi manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga dewasa dalam sikap dan perilaku.
Semoga momentum Tumpek Landep dapat sebagai pengingat atau alrm untuk dapat menuntun kita untuk lebih jernih berpikir, lebih lapang hati menerima perbedaan, dan lebih sabar menapaki jalan panjang pencarian ilmu. Karena pada akhirnya, ilmu bukan sekadar untuk diketahui, melainkan untuk membentuk kepribadian yang arif dan bijaksana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI