Kita semua pernah merasa dunia ini kurang peduli. Kita melihat orang-orang bergegas tanpa menoleh, fokus hanya pada urusan mereka sendiri. Perasaan ini bisa sangat kuat, terutama ketika kita atau orang terdekat sedang dalam masa sulit dan membutuhkan uluran tangan.
Dalam momen-momen itu, rasanya seperti mencari sumur di gurun pasir. Kita mencari kebaikan, empati, atau sekadar perhatian tulus, tapi yang kita temukan hanyalah kekosongan atau janji palsu. Di sinilah muncul anggapan bahwa kebaikan itu seolah buntu, terhenti, atau sudah habis.
Kita sering menghabiskan energi untuk menunggu. Menunggu pemerintah berbuat lebih, menunggu komunitas bertindak, atau menunggu orang asing yang murah hati muncul. Kita berdiri sebagai pencari, berharap ada Orang Baik yang datang untuk memecahkan masalah kita atau setidaknya meringankan beban kita.
Namun, cara pandang ini adalah jebakan. Selama kita hanya melihat keluar dan menunggu kebaikan datang, kita akan terus merasa kecewa. Kebaikan sejati tidak selalu datang dari pihak luar yang besar; ia seringkali harus diciptakan dari dalam diri.
Tema ini mengajak kita untuk mengubah posisi. Berhenti menjadi pencari. Menjadi Caregiver adalah salah satu bentuk paling nyata dan konkret untuk mengakhiri kebuntuan tersebut. Ini adalah keputusan untuk berhenti mengharapkan dan mulai memberi.
Ini adalah keputusan untuk memposisikan diri kita sebagai titik referensi kebaikan di tengah kebingungan. Jika Anda tidak bisa bertemu dengan kebaikan yang Anda butuhkan, maka jadilah kebaikan itu sendiri bagi orang lain.
Mengapa Kebaikan Sering Terasa Buntu (Krisis Keterlibatan)
Perasaan bahwa kebaikan buntu sebagian besar disebabkan oleh krisis keterlibatan. Banyak orang saat ini memilih untuk mengisolasi diri atau hanya peduli pada lingkaran kecil mereka.
Media dan lingkungan seringkali terlalu fokus pada hal negatif. Satu tindakan buruk lebih cepat menyebar daripada seribu tindakan baik. Hal ini menciptakan ilusi bahwa dunia didominasi oleh keburukan, padahal yang terjadi adalah keburukan lebih vokal.
Ketika kita terlalu banyak melihat berita negatif, kita mulai ragu. Kita berpikir, "Untuk apa saya repot-repot berbuat baik, toh dunia ini tetap buruk?" Keraguan ini menyebabkan kelumpuhan tindakan. Kita tahu harus berbuat apa, tapi kita memilih untuk tidak melakukannya karena merasa usaha kita sia-sia.
Selain itu, harapan kita terhadap "Orang Baik" seringkali tidak realistis. Kita ingin kebaikan itu datang dalam bentuk bantuan finansial yang besar atau pengorbanan heroik yang dramatis. Kita gagal menghitung kebaikan yang kecil dan sehari-hari.