Indonesia, negeri yang subur, dianugerahi tanah yang luas dan iklim yang mendukung pertanian. Sejak dulu, kita dikenal sebagai negara agraris, penghasil beragam komoditas pangan. Beras, khususnya, adalah makanan pokok bagi sebagian besar penduduknya. Setiap tahun, para petani kita bekerja keras, membajak sawah, menanam bibit, merawat tanaman, hingga tiba masa panen. Hasilnya seringkali berlimpah, bahkan kerap kali disebut surplus beras.
Namun, di balik kabar gembira tentang panen raya dan angka surplus yang mengagumkan, tersembunyi sebuah pertanyaan besar yang mengganjal: mengapa masih ada saudara-saudara kita yang harus tidur dengan perut kosong? Mengapa di tengah tumpukan karung beras di gudang, kelaparan masih menjadi cerita nyata bagi sebagian masyarakat? Ini adalah sebuah ironi yang sulit dicerna, sebuah paradoks yang perlu kita bedah bersama.
Kita sering mendengar berita tentang produksi beras yang melebihi kebutuhan. Kementerian Pertanian atau Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data yang menunjukkan stok beras nasional aman, bahkan berlebih. Angka-angka ini tentu melegakan. Ini berarti kita tidak perlu khawatir kekurangan beras untuk memenuhi kebutuhan harian. Kita tidak perlu mengimpor terlalu banyak, yang bisa membebani kas negara.
Tapi kenyataannya, data makro ini tidak selalu sejalan dengan kondisi mikro di lapangan. Di sudut-sudut desa terpencil, di perkotaan yang padat, atau di daerah-daerah yang rawan bencana, cerita tentang kekurangan pangan masih kerap terdengar. Ada keluarga yang hanya makan singkong, sagu, atau ubi karena tidak mampu membeli beras. Ada anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena orang tuanya sibuk mencari sesuap nasi.
Masalahnya bukan terletak pada kurangnya produksi beras secara keseluruhan. Bukan berarti petani kita gagal panen atau tanah kita tidak subur lagi. Masalahnya lebih kompleks, melibatkan banyak faktor yang saling terkait. Ini bukan hanya soal ketersediaan, tetapi juga soal akses, distribusi, dan harga.
Salah satu penyebab utama adalah distribusi yang belum merata. Beras yang dipanen di satu daerah mungkin melimpah, tetapi kesulitan logistik membuat beras itu sulit sampai ke daerah lain yang membutuhkan. Jalanan rusak, biaya transportasi mahal, atau bahkan praktik penimbunan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab, bisa menjadi penghambat.
Bayangkan saja, beras dari sentra produksi di Jawa Timur atau Sulawesi Selatan harus menempuh perjalanan ribuan kilometer untuk sampai ke pelosok Papua atau Kalimantan Utara. Biaya pengiriman tentu tidak sedikit. Ini membuat harga beras di daerah terpencil menjadi sangat tinggi, jauh di luar jangkauan masyarakat miskin.
Lalu, ada masalah daya beli. Sekalipun beras tersedia di pasar atau di toko, apakah semua orang mampu membelinya? Bagi keluarga yang hidup pas-pasan, kenaikan harga beras sedikit saja bisa berarti pilihan antara membeli beras atau memenuhi kebutuhan dasar lainnya seperti pendidikan anak atau obat-obatan. Gaji yang kecil atau tidak adanya pekerjaan tetap, membuat mereka rentan terhadap gejolak harga pangan.
Pemerintah memang punya program bantuan sosial, seperti bantuan pangan non-tunai (BPNT) atau beras sejahtera (rastra) dulunya. Program-program ini bertujuan membantu masyarakat miskin mendapatkan akses pangan. Namun, pelaksanaannya tidak selalu mulus. Ada saja masalah data penerima yang tidak akurat, bantuan yang terlambat, atau bahkan penyaluran yang tidak tepat sasaran.
Kita juga perlu melihat sisi lain dari rantai pasok pangan. Dari petani sampai ke konsumen, ada banyak pihak yang terlibat. Petani seringkali berjuang sendiri. Harga jual gabah atau beras dari petani seringkali rendah, tidak sebanding dengan jerih payah dan biaya produksi mereka. Ini membuat petani enggan meningkatkan produksi atau malah beralih menanam komoditas lain.
Di sisi lain, harga di tingkat konsumen bisa melambung tinggi. Ada mata rantai distribusi yang panjang, di mana setiap perantara mengambil keuntungan. Petani menjual dengan harga murah, tengkulak membeli, lalu dijual ke pedagang besar, kemudian ke agen, lalu ke pengecer, hingga akhirnya sampai di tangan kita. Semakin panjang mata rantainya, semakin tinggi pula harga akhirnya.