Lihat ke Halaman Asli

Johan Wahyudi

TERVERIFIKASI

Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Ingin Masuk Surga? Tirulah Kebiasaan Orang-Orang Ini

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1326789050341268463

[caption id="attachment_164332" align="aligncenter" width="650" caption="Sholatlah sebelum disholatkan."][/caption]

Menurut pendapat umum, orang-orang kampung dianggap lebih religious daripada orang kota. Itu terlihat pada kebiasaan keseharian. Rerata orang kampung rajin pergi ke masjid atau tempat peribadatan. Maka, suara adzan dan beragam jenis ibadah lain sering dihadiri ratusan hingga ribuan jamaah. Kesadaran ini mungkin tidak menjadi berita gembira karena rerata orang kampong tidak memiliki kesibukan seperti orang kota. Konon orang kota sering bekerja hingga larut malam. Sehari-hari mereka selalu berkutat dengan beragam aktivitas yang seakan menjadi magnet tak terlepaskan. Bahkan, tak jarang mereka bekerja dan tidak pulang. Mereka bekerja secara lembur. Namun, benarkah orang kota sudah melupakan Tuhannya?

Hari Minggu (15 September 2012), saya menghadiri acara arisan keluarga di kota Solo, tepatnya di daerah Semanggi. Kami (saya, istri, dan anak-anak berangkat dari rumah sekitar jam 09.00 dan tiba di lokasi sekitar jam 10.00. Tak lupa kami mampir ke warung makan untuk menyantap makan siang meskipun nantinya kami juga disuguhi makan siang. Menurut nasihat orang tuaku, saya disarankan makan di rumah dahulu sebelum bertamu agar tidak terkesan kemaruk alias makannya banyak.

Tiba di lokasi arisan, rumah tuan rumah masih terlihat sepi. Maka, saya memersilakan istri dan anak-anak untuk bermain sedangkan saya berjalan-jalan mengitari daerah Semanggi. Lumayan luas dan lumayan ramai. Banyak pedagang menjajakan jualannya dan para penarik becak sibuk menawarkan jasanya. Suasana siang itu memang cukup cerah sehingga lalu lintas juga cukup sibuk. Sempat pula saya jajan es degan atau kelapa muda di selatan masjid. Lumayan segar dengan harga yang relative murah. Tak lupa saya membawa dua bungkus untuk oleh-oleh anakku. Sekitar jam 11.00, saya kembali ke lokasi arisan dan ternyata acara sudah dimulai. Saya pun mengikuti acara itu.

Sekitar jam 12.00, adzan dhuhur berkumandang. Saya langsung mengajak kedua anakku (Zuhdi dan Ilham) untuk pergi ke masjid. Waktu itu, saya berkesempatan berdiri paling depan. Begitu iqomah terdengar, jamaah pun berdiri rapi dan merapat. Saya dan kedua anakku pun berdiri tertib. Kami pun menjalankan ibadah sholat dhuhur dengan khusu’.

Ketika sholat usai, saya pun menoleh ke belakang. Dan betapa terkejutnya saya. Masjid itu dipenuhi oleh jamaah. Luar biasa banyaknya. Ada sekitar lima baris dan ibu-ibu pun memiliki satu baris. Sambil berdzikir, tak henti-hentinya saya menoleh ke kanan dan ke kiri. Jika dilihat dari pakaiannya, saya mengindentikasi mereka sebagai tukang becak, pedagang asongan, pedagang klitikan, warga setempat dan mungkin gelandangan atau pengemis. Benar-benar luar biasa.

Usai berdzikir, saya mengajak kedua anakku untuk berkeliling masjid. Tak disangka, saya bertemu dengan penjual es kelapa muda. Kami pun bersalaman dan saya memerkenalkan kedua anakku kepada bapak itu. Dan langsung saja kami terlibat akrab untuk berbincang. Secara spontan, saya menelisik penjual kelapa muda dengan bertanya, “Pak, jamaah masjid ini banyak sekali. Memang sehari-hari kondisinya demikian?”

Dengan senyum ramah khas orang Solo, penjual kelapa muda itu menjawab, “Benar, Pak. Jamaah masjid ini memang banyak. Jamaah dhuhur ini belumlah seberapa. Jika Bapak datang pada maghrib, ‘isya, atau shubuh, jamaahnya bisa meluber hingga teras.” Sungguh jawaban yang luar biasa. Saya benar-benar kagum atas ramainya masjid di daerah Semanggi itu.

Konon, warga kota terkenal dengan sifat hedonis dan individualis. Mereka suka mengejar-ngejar kemewahan keduniaan sehingga mereka betah berlama-lama bekerja di kantor dan tempat kerjanya. Mereka pun jarang bertegur sapa dengan tetangga sehingga kadang mereka tidak mengenal satu sama lain meskipun rumahnya berdekatan. Namun, anggapan itu tidak berlaku untuk warga Semanggi Solo. Atas dasar kesadaran terhadap panggilan Tuhannya, mereka rela dan ikhlas bersujud syukur kepada Illahi. Sungguh kesadaran yang teramat langka di tengah kota nan penuh syetan penggoda. Maka, menurutku, layaklah mereka masuk surga. Amin!

Teriring salam,

Johan Wahyudi

Sumber gambar: Sini




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline