Di era modern yang serba cepat dan kompetitif, masyarakat dihadapkan pada ekspektasi yang tinggi untuk selalu mengikuti perkembangan terbaru, baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun profesional. Kehidupan sehari-hari kian didorong oleh kebutuhan untuk tetap terinformasi dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang dianggap penting atau bernilai.
Dalam konteks ini, fenomena Fear of Missing Out (FoMO) semakin relevan. FoMO atau dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai "takut ketinggalan" adalah fenomena psikologis yang merujuk pada perasaan cemas atau khawatir bahwa seseorang mungkin melewatkan pengalaman atau kesempatan yang menyenangkan, terutama yang terjadi di lingkungan sosial. FoMO dapat dipicu oleh perasaan ketakutan akan pengecualian sosial dan bahwa individu yang memiliki kebutuhan untuk diterima dalam kelompok cenderung mengalami FoMO yang lebih tinggi.
Fenomena FoMO (Fear of Missing Out) kini semakin sering ditemukan di lingkungan sekitar kita. Bahkan tidak sedikit dari perilaku FoMO ini sudah menjadi budaya yang membuat individu seringkali merasa perlu untuk terus mengikuti tren dan aktivitas terbaru agar tidak dianggap ketinggalan zaman atau berbeda dari kelompok sosialnya. Ini adalah upaya untuk menjaga atau meningkatkan status sosial mereka. Namun, upaya yang didorong oleh FoMO seringkali tidak sehat. FoMO justru dapat menyebabkan kecemasan, stres, dan perasaan tidak puas.
Beberapa ciri perilaku FoMO meliputi perasaan cemas yang berlebihan, kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain, kebutuhan untuk selalu terhubung secara daring, pengabaian aktivitas lain, penggunaan media sosial yang berlebihan, serta perasaan tidak puas atau kurang bahagia. Jika tidak dikelola dengan baik, FoMO dapat berdampak negatif terhadap kesejahteraan mental dan kualitas hidup seseorang. Hal ini dapat menunjukkan bahwa FoMO tidak hanya berdampak pada kesejahteraan psikologis individu, tetapi juga memengaruhi kemampuan mereka dalam beradaptasi sosial, terutama bagi mereka yang berada di lingkungan baru atau berbeda.
Individu yang mengalami FoMO sering terjebak dalam siklus perbandingan sosial yang merugikan, memperburuk kesepian dan kecemasan, sehingga sulit beradaptasi dan menjalin hubungan baru.
Park & Burgess, 2009, adaptasi sosial merupakan proses penyesuaian individu terhadap norma, nilai, dan perilaku dalam lingkungan sosial baru. Proses ini melibatkan interaksi antara individu dengan kelompok sosialnya. Artinya, adaptasi sosial bukanlah sekali jadi, melainkan melalui proses yang berkelanjutan. Individu secara aktif berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Setiap individu memiliki karakteristik dan pengalaman yang berbeda, sehingga proses adaptasi setiap orang pun berbedabeda.
Dunia digital menyediakan banyak informasi dan begitu cepat pula informasi tersebut berganti, hal ini memprovokasi orang-orang untuk terusmenerus mengikuti pembaruan dan perkembangan yang ada di dalamnya. Orang-orang menjadi cemas dan takut bila ada sedikit informasi yang mereka lewatkan, mulai dari obrolan (chat) teman pada aplikasi percakapan daring seperti WhatsApp serta posting rutinitas keseharian mereka, sampai kabar mengenai kehidupan para tokoh idola dan situasi perpolitikan di negerinya. Keberagaman dan keberlimpahan informasi di dalam dunia digital yang dapat dengan mudah dan instan diakses oleh para penggunanya, juga dapat memicu kecemasan dan ketakutan mereka dalam menentukan pilihan-pilihan dalam hidup. Hal ini terjadi karena fokus perhatian orang-orang saat tengah beraktivitas dalam dunia digital akan cenderung lebih mudah teralihkan untuk memerhatikan berbagai alternatif pilihan-pilihan hidup orang lain yang mungkin dapat mengantarkan mereka pada pengalaman hidup yang lebih ideal daripada keadaan dirinya pada saat sekarang, sehingga orang pun menjadi bimbang dan takut untuk menentukan pilihan dan tujuan hidupnya sendiri.
Patrick J. McGinns selain memperkenalkan istilah FoMO pada tahun 2004, ia juga memperkenalkan istilah FoBO (Fear of a Better Option) yang ia definisikan sebagai "dorongan yang diakibatkan oleh rasa cemas untuk menunggu sesuatu yang lebih baik berdasarkan persepsi bahwa mungkin ada alternatif atau pilihan lain yang lebih mengutungkan" . Gejala FoBO merupakan gejala yang jalin kelindan dengan FoMO, kecemasan dan ketakutan akan tertinggal tren, informasi dan momen-momen kehidupan orang lain juga mengakibatkan seseorang cemas, takut dan bimbang untuk menentukan pilihan dan tujuan hidupnya sendiri, karena orang akan terusmenerus merasa bahwa selalu ada alternatif pilihan yang lebih baik, sehingga waktu mereka justru habis hanya untuk mengeksplorasi segala kemungkinan pilihan yang ada, tanpa pernah dan mampu mengambil komitmen pada pilihan tertentu. Untuk dapat keluar dari situasi tersebut, McGinns menjelaskan bahwa seseorang harus memiliki kekuatan dan keberanian untuk memilih apa yang benar-benar mereka inginkan dan tuju. Jika perhatian orang hanya diarahkan untuk terus-menerus mengikuti dan bergantung terhadap perkembangan dan situasi di luar dirinya, maka selamanya mereka tidak akan pernah memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Dengan demikian, orang harus sadar bahwa hidupnya adalah sepenuhnya tanggung jawab dirinya sendiri dan mereka harus berani untuk mengambil keputusan dan bertindak .
Adaptasi dalam Situasi : Prosepek PKS Banyumas
Kemampuan seseorang untuk dapat mengatasi FoMO maupun FoBO sangat tergantung pada ketahanan psikologisnya atau resiliensi yang dimiliki oleh masing-masing individu dan setiap individu dapat memiliki resiliensi yang berbeda-beda, karena faktor-faktor pembentuk resiliensinya juga dapat bervariasi dan saling terkait. Misalnya, Stephen M. Southwick (2014), menjelaskan bahwa faktor penentu resiliensi individu dapat mencakup sejumlah faktor, diantaranya faktor biologis, psikologis, sosial dan budaya yang saling berinteraksi satu sama lain untuk menentukan bagaimana individu merespons pengalaman yang penuh tekanan dan kemampuanya untuk beradaptasi dengan baik terhadap stres, baik di tempat kerja, lingkungan akademis maupun kehidupan pribadi dan hubungan mereka dengan pasangan (Southwick, Bonanno, Masten, Panter-Brick, & Yehuda, 2014).