Lihat ke Halaman Asli

Jimmy Wijaya

Insan Bangsa

Menggerakkan Resources melalui Mobilisasi dan Orkestrasi

Diperbarui: 8 Desember 2020   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Resources tidak untuk dimiliki dan terlalu mahal untuk memilikinya (Sumber: fiverr.com)

Masih ingat tanda pagar (tagar) #StopHateforProfit? Tagar ini pernah trending topic dunia belum lama ini. Sengaja ditrendingkan sebagai bentuk kampanye yang kabarnya dilancarkan oleh kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) di Amerika. Sasaran "tembaknya", bukanlah institusi lembaga negara, melainkan platform raksasa jejaring sosial, Facebook.

Konon, trendingnya #StopHateforProfit dilatarbelakangi protes masyarakat terhadap Facebook yang menolak menghapus unggahan Donald Trump. Massa geram atas pernyataan Presiden AS, yang mengancam akan memberikan tindakan kekerasan kepada kelompok pengunjuk rasa atas kematian George Flyod beberapa waktu lalu.

Akibat masifnya kampanye #StopHateforProfit, perusahaan yang didirikan oleh Mark Zuckerberg ini harus menelan pil pahit akibat pemboikotan lebih dari 90 perusahaan. Padahal, sejumlah perusahaan pemboikot itu yang telah lama menjadi pengiklan di platform tersebut. Imbas pembatalan kontrak iklan, kekayaan sang founder pun terjun bebas. Nominalnya cukup mengernyitkan dahi Mark, yaitu 7,21 miliar dollar AS.

Jika ditelisik lebih dalam dan dikaitkan pada rentetan peristiwa serupa (#deleteFacebook atas skandal Cambridge Analytica 2018 silam), kemungkinan ada pihak yang berada di belakang gerakan-gerakan tersebut. Mungkinkah Facebook sedang dimobilisasi? Bisa saja itu terjadi. 

Asumsi itu berangkat pada fenomena shifting media konvensional ke media sosial. Sejak konsentrasi publik tersedot pada media sosial yang lebih cepat dan mudah diakses, media konvensional perlahan ditinggalkan. Pengiklan pun ikut migrasi, dan mempercayakan media sosial sebagai sarana penyampai pesan bisnis baru. Selain murah, beriklan di sosial media terukur secara targeting.

Media konvensional seakan kehilangan relevansinya. Lesu, di tengah serbuan informasi yang semakin cepat. Ibarat hidup segan, mati tak mau. Di lain sisi, platform media sosial semakin digandrungi karena akses informasinya yang real time.

Tapi, dugaan terhadap upaya mobilisasi Facebook hanya sekadar asumsi belaka. Benar atau tidaknya, fenomena tagar-tagar yang trending di jagat maya dan bersifat menghancurkan menjadi sinyal terjadi praktik mobilisasi. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Rhenald Kasali menyebut, mobilisasi dan orkestrasi memang marak belakangan ini di dunia hyperconnected society seperti sekarang.

***

Mobilisasi yang dimaksud disini ialah pemanfaatan sumber daya sosial yang saling terhubung dengan metode sharing dan shaping untuk tujuan tertentu. (#MO, Rhenald Kasali). Praktik ini jika dipergunakan untuk hal yang baik akan memberikan dampak positif. Misalnya, untuk tujuan pemasaran, komunikasi publik dan bisnis. Sebaliknya, mobilisasi dan orkestrasi pun bisa berdampak negatif seperti pada kasus yang menimpa raksasa jejaring sosial Facebook misalnya. Akibatnya, reputasi korporasi terkikis yang ikut mempengaruhi merosotnya dukungan publik.

Perusahaan incumbent yang lebih dulu existing dan menjadi besar, terkadang masih mempertahankan pola lama termasuk dalam proses pengelolaan sumber daya. Misalnya masih fokus pada kontrol resources dalam rantai produksinya. Namun di era sekarang, hal tersebut mulai ditinggalkan karena mulai usang. Cost yang dibutuhkan pun menjadi lebih mahal.

Yang diperlukan sekarang adalah kemampuan membaca situasi dan kondisi. Termasuk, mengkonstruksi ekosistem bisnis yang memungkinkan pelaku bisnis bisa melakukan orkestrasi (pengelolaan) atas berbagai resources yang ada di luarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline