Lihat ke Halaman Asli

Jilal Mardhani

TERVERIFIKASI

Pemerhati

Taman Ismail Marzuki: Reformasi Baru Saja Dimulai

Diperbarui: 20 November 2015   11:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Tribute to Ismail Marzuki - Graha Bhakti Budaya TIM, 11 Mei 2002, 20:00 WIB "][/caption]Pusat kesenian itu terletak di Jl. Cikini Raya, Jakarta. Kira-kira 15 tahun lalu, saya singgah di sana. Lalu memimpinnya. Tak sampai 2 tahun. Dan saya memperoleh pengalaman yang sungguh istimewa.

 

Saya beruntung. 

Mungkin karena Soeharto digulingkan dan gerakan reformasi bergulir. Biasanya - seperti juga sekarang ini - pengelolaan institusi itu selalu diserahkan kepada salah seorang birokrat kantor Gubernur DKI Jakarta. Pemiliknya. Tapi ketika itu, Yayasan Kesenian Jakarta-lah yang dilimpahkan tanggung jawab dan wewenang untuk mengurusnya. Lalu mereka mencari sosok untuk mengganti pimpinan yang ada. Dan tawaran itu disampaikan walaupun saya bukan seniman dan juga bukan pegawai negeri. Dan saya menerimanya.

Saya memang sedang jengkel. Bersama-sama dengan sejumlah rekan yang lain, kami berada di penghujung jalan mempersiapkan kehadiran salah satu dari 5 stasiun televisi Nasional yang terbit paska kejatuhan Soeharto. Jasa dan biaya-biaya yang dikeluarkan selama lebih dari 2 tahun untuk menyiapkannya tak dibayar. Izin yang diperoleh justru dijual penggagasnya kepada konglomerasi yang dulunya milik salah seorang putra presiden Orde Baru itu. Bukan pergantian pemilik yang membuat saya dan kawan-kawan lain menggerutu. Tapi mimpi yang buyar untuk menghadirkan stasiun televisi berjaringan. Antithesis dari konsep pertelevisian Nasional yang terpusat di Jakarta sebelumnya. Sebuah keniscayaan yang kemudian hari memang dengan tegas dan jelas diamanatkan Undang- Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Kamipun bangkrut. Semua kekayaan perusahaan yang kami dirikan amblas di sana.

Lalu seorang sastrawan yang juga mantan wartawan bertandang ke kantor. Ia sudah tahu. Tapi tetap bertanya. Namanya Radhar Pancadhana.

“Bagaimana selanjutnya, bang?”

“Saya tak mau lagi berurusan dengan bisnis pertelevisian!”

“Kalau gitu, bantu kesenian saja?”

“Maksudnya?”

“Taman Ismail Marzuki sedang cari Direktur. Kalau bersedia, saya akan usulkan”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline