Lihat ke Halaman Asli

New Normal dalam Membentuk Tatanan Lingkung Baru

Diperbarui: 26 Juli 2020   22:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Empat bulan sudah usia Covid-19 mewabah di Indonesia sejak diumumkannya kasus pertama pada 2 Maret 2020. Kekhawatiran terhadap laju perekonomian yang kian memburuk mendesak pemerintah untuk segera kembali membuka sektor ekonomi masyarakat. Hingga akhirnya penerapan protokol new normal (kenormalan baru) dicanangkan, memastikan masyarakat dapat beraktivitas kembali namun tetap aman dari Covid-19. Namun benarkah kenormalan baru ini sudah menjadi langkah paling efektif yang dapat dilakukan pemerintah?

Hal yang mungkin sempat kita sadari bahwa di awal kehadiran pandemi Covid-19 ini bahwa keadaan lingkungan di berbagai kota besar di Indonesia berangsur-angsur membaik akibat berkurangnya kegiatan masyarakat.

Salah satu indikasinya, semakin dapat dirasakan bagaimana udara di daerah perkotaan mulai membaik pasca hiruk-pikuk polusi yang selalu memburuk dan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.

Jenuh berdiam diri dalam rumah hingga masyarakat yang mulai skeptis terhadap dampak Covid-19 membuat sebagian banyak orang mulai acuh terhadap protokol-protokol kesehatan. Kenormalan baru perlu ditinjau ulang.

Seharusnya kenormalan baru bukan hanya cukup sekedar menganjurkan menggunakan masker serta rajin cuci tangan dan jaga jarak. Kenormalan baru seharusnya perlu menghadirkan tatanan kelola lingkungan kota yang juga lebih baik dan mampu memperbaiki kualitas lingkungan hidup.

Praktek Konsumerisme

Tidak dapat dipungkiri, sejak pembatasan sosial dilaksanakan, persentase produksi sampah masyarakat cenderung semakin meningkat. Umumnya hal tersebut disebabkan oleh aktivitas berbelanja di e-commerce (belanja online) karena bosan, ataupun pembelian produk berkemasan guna mempunyai persediaan barang jangka panjang.

Dikutip dari Tirto.id, selama pembatasan sosial dari 5 hingga 21 Juni, rata-rata sampah Jakarta naik sebanyak 6.225 ton tiap harinya (23/6). Disebutkan bahwa sampah saat ini cenderung didominasi oleh pemukiman atau dari limbah rumah tangga. Padahal hal ini sangat berbanding dengan kesadaran masyarakat kita dalam mengelola produksi sampah.

Masalah lainnya juga adalah mengingat dalam masa pandemi Covid-19, penggunaan alat pelindung diri (APD) seperti masker dan sarung tangan sekali pakai tentu meningkat. Padahal kelompok sampah tersebut mampu mengakibatkan terjadinya percampuran jenis sampah infeksius, yaitu jenis limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), dengan sampah domestik jika tidak ada pemilahan sampah dari tingkat rumah tangga.

"Memangnya kenapa kalau jenis sampah itu saling bercampur, toh, pada akhirnya sama-sama dibuang karena menjadi sampah?" 

Sebelum itu ketahuilah, sampah jenis ini sendiri adalah jenis sampah atau limbah yang daur ulang nya yang tergolong sulit untuk terurai dan membutuhkan penangan khusus.

Alasannya, dalam kuantitas kecilnya saja mampu merusak lingkungan, kesehatan, hingga mampu mengancam kelangsungan makhluk hidup. Sehingga dikhawatirkan beresiko menjadi sarang untuk perkembangbiakan mikroorganisme tertentu, terutama mampu membahayakan keselamatan petugas yang mengangkut sampah maupun masyarakat sekitar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline